“Perjalanan HKBP dan Pergumulannya”
Pengantar
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) adalah salah salah satu organisasi gereja terbesar di Asia, bahkan merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Berdasarkan data PGI, HKBP memiliki gereja / jemaat sebanyak 3.131 jemaat, anggota jemaat sebanyak 3.500.000 jiwa, pendeta ± 1.700 orang dan pelayan lainnya (Evangelis, Diakones, Biblevrouw, Guru Huria dan Sintua) sebanyak ± 35.000 orang.
Secara hukum organisasi HKBP telah disahkan melalui Pengakuan Pemerintah tanggal 11 Juni 1931 No 48, Staatsblad 1932 No. 360, jo. No. Dd/P/DAK/d/135/68, jo. No. 33 Tahun 1988.
Saat ini, HKBP yang berpusat di Pearaja - Tarutung, Sumatera Utara itu dipimpin oleh seorang Ephorus, Sekretaris Jenderal dan 3 Kepala Departemen, yaitu :
Ephorus : Pdt. Dr.Bonar Napitupulu
Sekjen : Pdt. Ramlan Hutahaean, MTh
Kadep.Koinonia : Pdt. Dr. Jamilin Sirait
Kadep.Marturia : Pdt. Dr. Binsar Nainggolan
Kadep.Diakonia : Pdt. Nelson Siregar, STh
Sejarah Penginjilan ke Tanah Batak
Pada tanggal 7 Oktober 1861 Pelayanan Rheinische Mission dari Jerman dimulai di Tanah Batak dan ditetapkan menjadi hari lahirnya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), ditandai dengan berundingnya empat orang Missionaris, Pdt. Heine, Pdt. J.C. Klammer, Pdt. Betz dan Pdt. Van Asselt membicarakan pembagian wilayah pelayanan di Tapanuli.
Sebelumnya, yaitu pada tanggal 31 Maret 1861, pekabaran Injil di Tanah Batak dimulai dengan adanya baptis perdana yang dilakukan oleh Pdt. Van Asselt terhadap dua orang suku Batak yaitu Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar di Sipirok.
Pada tanggal 14 Mei 1862, seorang penginjil yang diutus oleh dari RMG Jerman bernama Pdt. Ingwer Ludwig Nomensen tiba di Padang setelah melalui perjalanan laut selama 142 hari dengan menumpang kapal Pertinar. Selanjutnya beliau tinggal di Barus. (Kapal Pertinar kemudian tenggelam dalam lanjutan pelayaran ke arah timur di sekitar Laut Banda dekat Irian Barat).
Pada bulan November 1862, Pdt. IL Nomensen bersama beberapa orang Batak, mengadakan perjalanan ke pedalaman Sumatera melalui Barus dan Tukka. Dari Barus, Ingwer Ludwig Nommensen pergi ke Prausorat - Sipirok dan kemudian tinggal dengan Pdt. Van Asselt di Sarulla.
Setahun kemudian Pdt. Ingwer Ludwig Nommensen pertama kali mengunjungi Lembah Silindung. Dia berdoa di Bukit Siatas Barita (sekarang menjadi tempat wisata rohani Salib Kasih). Dalam doanya dia berjanji kepada Tuhan “Tuhan, hidup atau mati saya akan bersama bangsa ini untuk memberitakan FirmanMu dan KerajaanMu, Amin!”. Kemudian dengan penglihatan mata rohaninya dia berkata kepada teman yang menyertainya : ”Aku mendengar lonceng gereja berbunyi bersahut-sahutan di lembah ini”.
Dengan segala pergumulan dan ancaman dari raja-raja local dan penduduk setempat, akhirnya Pdt Nomensen diterima dan diijinkan memulai misinya di Silindung, sebuah lembah yang indah dan banyak penduduknya.
Pada tanggal 20 Mei 1864 Pdt. I. L. Nommensen membangun pargodungan di dusun Dame I yang terletak di Desa Saitnihuta Ompu Sumurung, kemudian dinamakannya Godung Huta Dame dan pada tanggal 29 Mei 1864 Pdt. I. L. Nommensen mengadakan kebaktian minggu pertama di Godung Huta Dame, dan meresmikan gereja pertama yang dibangunnya di Tanah Batak, yaitu HKBP Dame Saitnihuta dan HKBP Pearaja[1].
Namun tantangan tidak berhenti dalam misi Pdt IL Nomensen, tanggal 25 Sep 1864, Nommensen ditangkap dan hendak dipersembahkan kepada Sombaon Siatas Barita dionan Sitahuru. Ribuan orang datang dalam acara tersebut. Nommensen hendak dibunuh untuk menjadi kurban persembahan. Namun Nommensen tegar menghadapi tantangan itu, beliau pun berdoa dan......tiba-tiba angin puting beliung dan hujan deras membubarkan pesta besar tersebut. Ingwer Ludwig Nommensen selamat, sejak itu semakin terbuka lah jalan akan penyebaran Firman Tuhan di negeri yang terkenal sangat kejam dan buas itu. Ingwer Ludwig Nommensen pun sering dijuluki “Apostel di Tanah Batak”
Pada Tahun 1873, Sikola Mardalan-dalan (Sekolah dengan tempat tidak tetap) diciptakan oleh Nommensen agar Orang Batak bisa secepatnya menjadi guru. Para siswa mendatangi Pdt. Nommensen di Pearaja, Pdt. Johansen di Pansurnapitu dan Pdt. Mohri di Sipoholon dimana para misionaris tersebut bertugas. Atau sering juga para misionaris itu mendatangi siswanya ditempat tertentu.
Tahun 1876, tercatat telah dibaptis lebih dari 7000 orang Batak menjadi Kristen di Silindung.
Tahun 1877, Pdt. Nommensen dan Pdt. Johansen mendirikan Sekolah Guru Zending di Pansurnapitu. Tempat berdirinya sekolah tersebut adalah tempat yang dulunya dikenal sebagai Pasombaonan (tempat angker), yang kemudian hari sekolah tersebut dipindahkan ke Seminarium Sipoholon.
Pada tahun 1881, oleh Kongsi Zending Barmen, Pdt. Ingwer Ludwig Nommensen ditetapkan menjadi Ephorus pertama HKBP, dan digelari ‘Ompu i’.
Tahun 1904, Fakultas Theologi Universitas Bonn, Jerman, menganugerahkan gelar Doktor Honouris-Causa di bidang Theologi kepada Ingwer Ludwig Nommensen. Dalam pengukuhan tersebut, Ratu Wilhelmina dari Belanda ikut diundang sebagai tamu, sehingga sampai saat ini dia selalu disebut Ompu i Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nomensen.[2]
Tahun 1911, dilaksanakan Pesta jubileum 50 tahun HKBP. Pesta besar di onan Sitahuru dihadiri puluhan ribu orang, di tempat dimana 47 tahun sebelumnya Ingwer Ludwig Nommensen mau dibunuh dan dipersembahkan kepada Sombaon Siatas Barita.
Pada hari Kamis, tanggal 23 Mei 1918, Pukul enam pagi, Ompu i Pdt. DR. Ingwer Ludwig Nommensen pergi menghadap Tuhannya di Sorga. Dia menutup mata untuk selama-lamanya setelah berdoa ‘Tuhan kedalam tanganMu kuserahkan rohku, Amin’. Kemudian pada hari Jumat sore tangga 24 Mei 1918, beliau dimakamkan di Sigumpar. Puluhan ribu datang melayatnya untuk mengucapkan salam perpisahan. Ada orang berkata bahwa inilah kumpulan manusia yang paling banyak yang pernah terjadi di Tanah Batak. [3]
Berdirinya Geraja-gereja / Jemaat-jemaat pertama di HKBP
- 1862, Berdirinya Jemaat di Sarulla dan Pangalaon Pahae
- Mei 1864 berdirilah gereja di Sipirok. Pada tahun itu dibaptiskanlah tiga orang Kristen jang pertama di Sipirok, jakni Thomas, Pilippus dan Johannes, masing-masing berumur 17, 15 dan 12 tahun.”[4]
- 29 Mei 1864, Pdt. I. L. Nommensen mengadakan kebaktian minggu pertama di Godung Huta Dame, dan meresmikan gereja pertama yang dibangunnya di Tanah Batak, yaitu HKBP Saitnihuta (Huta Dame Saitnihuta)[5]
- 1867 Berdiri jemaat HKBP Pansurnapitu
- 1870 Permulaan berdirinya Jemaat di Sibolga dan Sipoholon
- 1907 Berdiri Jemaat di Pematangsiantar
- 27 April 1908 Hari lahirnya Jemaat di Sidikalang.
Daftar Ephorus HKBP
- Pdt. Dr. I. L. Nommensen (1881-1918) Ephorus pertama
- Pdt. Valentin Kessel (1918-1920) Pejabat sementara Ephorus
- Pdt. Dr. Johannes Warneck (1920-1932)
- Pdt. P. Landgrebe (1932-1936)
- Pdt. Dr. E. Verwiebe (1936-1940)
- Pdt. H.F. de Kleine (1940-1940) Pejabat Ephorus
- Pdt. Kasianus. Sirait (1940-1942) Orang Batak pertama yg menjadi Ephorus
- Pdt. Dr. (H.C.) Justin Sihombing (1942-1950)
- Pdt. Dr. (H.C.) Justin Sihombing (1950-1960)
- Pdt. Dr. (H.C.) Justin Sihombing (1960-1962)
- Pdt. Dr. (H.C.) T.S. Sihombing (1962-1974) Sinode Godang Istimewa.
- Pdt. G.H.M. Siahaan (1974-1981)
- Pdt. G.H.M. Siahaan (1981-1986)
- Pdt. Dr. S.A.E. Nababan, LLD (1986-1998), Terjadi Krisis HKBP (1992-1998) yang menghasilkan dualisme kepemimpinan hingga 1998.
- Pdt. Dr. P.W.T. Simanjuntak (1993-1998) Terpilih dalam Sinode Godang Istimewa
- Pdt. Dr. J.R. Hutauruk (1998-1998) Terpilih sbg Pjs. Ephorus dlm Sinode Godang ke-53.
- Pdt. Dr. J.R. Hutauruk (1998-2004) Terpilih dlm Sinode Godang Rekonsiliasi.
- Pdt. Dr. Bonar Napitupulu (2004-2008)
- Pdt. Dr. Bonar Napitupulu (2008-2012) Terpilih dlm Sinode Godang HKBP ke-59 di Seminarium Sipoholon.
Pergumulan dan Konflik di HKBP
Sejak awal, HKBP sudah dihadapkan kepada berbagai persolan dan pergumulan baik internal maupun eksternal.
- Pada awalnya konflik ini mencuat ketika sekelompok cendekiawan Kristen Batak yang sudah mengenal nasionalisme merasa tidak puas dengan gereja Batak yang dikomandani badan zending yang datang dari Eropa (Jerman). Kemudian berdirilah sebuah badan yang menamakan dirinya HCB (Hoeria Cristian Batak) yang menolak badan zending Jerman (RMG) tersebut dan ingin otonomi, Juga ada nuansa politik pergerakan yang menolak pemerintahan kolonial Belanda. Gerakan ini dipelopori M.H.Manullang yang mendirikan Hatopan Kristen Batak (HKB) tahun 1917. Tidak berhenti disitu konflik muncul lagi dan tahun 1927 berdiri gereja Batak baru bernama Hatopan Christen Batak (HCB, sekarang HKI). Disusul ditahun yang sama Gereja Mission Batak dan Punguan Kristen Batak.
- Babak kedua konflik HKBP adalah perpecahan dalam tubuh HKBP yang melahirkan gereja baru Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI). Pada Juni dan Oktober 1962, untuk pertama kalinya HKBP mengadakan Sinode Godang Istimewa. Usai sinode, 22 pendeta malah dipecat. Protes demi protes timbul. Selebaran bertebaran, dan ditambah demonstrasi. Lalu muncul kelompok yang menamai diri Panitia Panindangi Reformasi HKBP. Mereka memutuskan hubungan dengan organisasi induk HKBP. Pertengkaran antar puak meledak. Etnis Toba, Humbang, dan Samosir (dikenal dengan sebutan Tohumsa) berkuasa di HKBP. Namun, orang-orang Silindung yang bermarga Hutagalung, Hutabarat, atau Tobing, justru merasa lebih berhak. Ketegangan memuncak ketika Prof. Dr. Andar Lumbantobing, Rektor (dulu disebut Presiden) Universitas HKBP Nommensen dipecat pengusaha DR. T.D. Pardede. Universitas ini berpusat di Pematangsiantar, dan cabang utamanya di Medan. Api perpecahan kian merebak. Kalangan intelektual merasa digusur oleh para awam yang banyak menyumbang uang buat gereja. Mereka lalu membentuk Dewan Patotahon Gereja HKBP alias dewan keutuhan. Dewan mengajukan usul pada pimpinan HKBP agar personalia Pusat HKBP disempurnakan. Artinya, orang Silindung supaya dilibatkan. Untuk mendukung usul ini, sekelompok pemuda melakukan Long March Perjalanan Doa 300 km dari Medan ke Tarutung. Namun, di Tarutung, pusat HKBP, pimpinan gereja menolak menerima mereka. Buntutnya? Sejumlah orang lalu mendirikan GKPI tahun 1964, walaupun Andar mengaku tak setuju. “Mendirikan gereja baru tak sesuai dengan dogma dan hukum teologi,” katanya — serupa dengan jawaban Dr SM Hutagalung. Karena desakan orang-orang yang tak mau mundur itu, akhirnya Dr. Andar Tobing akhirnya mau juga menjadi bishop untuk memimpin GKPI. Perpecahan yang menyebabkan lahirnya GKPI merupakan perpecahan terpelik yang pernah dihadapi lembaga gereja ini. Waktu itu, 13 ribu anggota menyeberang dan 42 gereja dikuasai ditambah yang ikut 26 pendeta, 16 penatua, dan 42 guru jemaah yang disebut voorganger. Akibat kemelut tersebut sangat luas, bahkan mempengaruhi hubungan kekerabatan, ada adik-kakak yang sampai sekarang tak bertegur sapa karena perpecahan gereja tersebut.[6]
- Pada tanggal 27-31 Juni 1987, diadakan Sinode Godang ke-48. terjadilah konflik dalam tubuh HKBP yang berawal dari kisruh Sinode Godang tersebut. Sekjen HKBP incumbent pada saat itu Pdt. PM Sihombing, MTh bersaing dengan Pdt. Dr. SAE Nababan dalam perebutan jabatan Ephorus yang kemudian ternyata dimenangkan Pdt. Dr. SAE Nababan sebagai Ephorus dan Pdt. OPT Simorangkir sebagai Sekjen. Tradisi Sekjen menjadi Ephorus yang mau dilanjutkan Pdt. PM Sihombing ternyata gagal, lalu sengketa meledak. Pdt. SAE Nababan dituduh melakukan sogok/suap hingga menang. Disamping itu Pdt. SAE Nababan dituduh memasukkan ajaran sesat ke dalam HKBP. Pdt. SAE Nababan melakukan pembersihan kepada pendukung Sihombing di Universitas HKBP Nommensen, yang kemudian melahirkan gelombang unjuk rasa. Kedua belah pihak mengundang pihak luar/pemerintah, lembaga asing atau tokoh-tokoh Batak yang merasa dekat dengan kekuasaan. Bahkan para jawara dan preman dilibatkan pula.
- Konflik berlanjut ketika Sinode Godang ke-51, tanggal 23 – 28 Nopember 1993. Ada 3 agenda di Sinode Godang ini, yaitu; Penyelesaian Kemelut HKBP, Periode Fungsionaris dan menetapkan Aturan Peraturan (AD dan ART) HKBP untuk tahun 1992 s/d 2002. Sinode berhasil memutuskan: Tim Penyelesaian Kemelut dan Aturan HKBP 1992 – 2002 (AD) tanpa Peraturan (ART). Pemilihan Fungsionaris HKBP tidak terlaksana, terjadi keributan dan perpecahan di tubuh HKBP hingga tahun 1998. Pemerintah kemudian menetapkan Pdt. DR. SM Siahaan sebagai care taker (Pjs) Ephorus.
- Tanggal 11 – 13 Februari 1993, dengan campur tangan Pemerintah, dilaksanakan Sinode Godang Istimewa di Hotel Tiara Medan melalui undangan Pejabat Ephorus. Dalam Sinode tersebut terpilih Pdt. Dr. P.W.T. Simanjuntak sebagai Ephorus dan Pdt. Dr. S.M. Siahaan sebagai Sekretaris Jenderal.
- Di sisi lain Pdt. DR. SAE Nababan, LLD masih diakui sebagai Ephorus yang sah, sehingga HKBP terbagi dalam dua kelompok yang menamakan dirinya kelompok SSA/AP (Pro SAE Nababan) dan Kelompok SAI-Tiara (Pro PWT Simanjuntak). Hal tersebut berlangsung sampai tahun 1998 dengan diwarnai berbagai bentrok fisik diantara para pendukung kedua belah pihak. Bahkan ada beberapa orang yang meninggal dunia akibat konflik tersebut. Kantor Pusat HKBP menjadi rebutan kedua belah pihak. Banyak juga jemaat yang terpecah dan sebagian memisahkan diri dari gereja asal, sehingga banyak berdiri jemaat-jemaat baru baik di pihak SSA maupun SAI.
- Pada tanggal 26 Okt – 1 Nop 1998, Sinode Godang ke-54 dilaksanakan di Pematang Siantar dan Balige. Dalam Sinode tersebut Pdt. Dr. J.R. Hutauruk terpilih sebagai Pejabat Ephorus dengan tugas menyelenggarakan rekonsiliasi selambat-lambatnya enam bulan. Kemudian Pdt. DR. JR. Hutauruk dengan cepat mengupayakan rekonsilasi, sehingga pada tanggal 17 Nop 1998, Pernyataan bersama ditanda tangani antara Ephorus Pdt. Dr. S.A.E. Nababan, LLD dan Pejabat Ephorus Pdt. Dr. J.R. Hutauruk di Gereja HKBP Sudirman Medan, hal tersebut menentukan rekonsiliasi melalui Sinode Godang Rekonsiliasi yang dilaksanakan tanggal 18 – 20 Desember 1998. Sinode Godang Rekonsiliasi kemudian dilaksanakan di Kompleks FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar. Akhirnya Pdt. Dr. J.R. Hutauruk terpilih sebagai Ephorus dan Pdt. W.T.P. Simarmata, MA terpilih sebagai Sekretaris Jenderal.
- Sejak saat itu HKBP kembali bersatu dan eksis sebagai gereja yang didirikan diatas dasar yang kokoh yaitu Yesus Kristus.
Refleksi 150 Tahun HKBP
Masih segar dalam ingatan penulis suasana tahun 1986 ketika Jubileum 125 Tahun dilaksanakan di Kompleks Seminarium Sipoholon. Saat itu penulis masih berusia 15 Tahun dan duduk di kelas 2 salah satu SMP Negeri di Tarutung. Eforia Jubileum sangat terasa bukan saja bagi jemaat HKBP dewasa tetapi juga anak-anak yang masih usia sekolah dari tingkat SD sampai SLTA, semuanya berbondong-bondong menuju Kompleks Seminarium HKBP di Sipoholon. Penulis sendiri berjalan kaki beramai-ramai dari Tarutung sampai ke lokasi peryaan Jubileum HKBP 125 Tahun tersebut. Kehadiran Presiden Republik Indonesia pada saat itu Bapak Soeharto dan Ibu Tien Soeharto menambah semangat setiap orang untuk menyaksikan langsung peristiwa akbar tersebut. Presiden Soeharto dan Ibu langsung datang ke lokasi acara dengan helicopter yang mendarat dengan mulus di lapangan bola Seminarium Sipoholon. Anak-anak sekolah yang terlibat langsung dalam penyambutan Soeharto pada saat itu, apalagi yang bisa bersalaman langsung dengan Presiden RI tersebut tentu saja tidak akan melupakan moment tersebut sepanjang hidupnya (kala itu, melihat Presiden Soeharto secara langsung apalagi bersalaman dengannya adalah suatu pengalaman langka).
Itulah sekelumit pengalaman ketika merayakan Jubileum 100 tahun HKBP yang dirasakan oleh penulis 25 tahun yang lalu.
Kini, 25 tahun sesudahnya, tepatnya Jubileum 150 tahun HKBP, penulis tidak tahu apakah pengalaman yang sama masih bisa dirasakan oleh generasi sekarang, tapi yang menjadi renungan bagi kita adalah bahwa dalam kurun waktu itu, sudah sejauh mana HKBP dan jemaat HKBP menghasilkan buah yang baik dalam kehidupannya. Jangan-jangan Jubileum HKBP hanyalah sekedar seremonial belaka dan hanya euphoria seketika, tanpa meninggalkan makna yang berarti dalam kehidupan rohani jemaatnya.
Tahun 1990-1993, ketika saya masih menjadi mahasiswa di salah satu Universitas terkemuka di Medan, selama itu penulis menerima beasiswa dari Kantor Pusat HKBP. Setiap 3 bulan sekali, penulis mendatangi Kantor Pusat HKBP di Pearaja Tarutung untuk mengambil uang beasiswa ke bagian keuangan HKBP. Seringkali penulis berpapasan dengan dengan Ephorus kala itu Pdt. DR. SAE Nababan, di tangga gedung Kantor Pusat HKBP tersebut. Kesan penulis, beliau adalah seorang pemimpin karismatik, tatapannya tajam, cara bicaranya lugas dan smart. Ketika berhadapan dengan beliau seperti ada sihir yang membuat penulis tidak berarti apa-apa di hadapannya. Wibawa dan karisma beliau seakan menyedot keangkuhan setiap orang yang berhadapan atau berbicara dengannya.
Sekitar tahun 1993, penulis dan beberapa siswa dan mahasiswa para penerima beasiswa HKBP mengadakan retreat di perkampungan pemuda Jetun Silangit Siborong-borong. Pada hari ke-2 retreat tersebut, penulis masih ingat ketika kami didatangi seorang Pendeta dan diajak untuk mengikuti Ibadah di Gereja HKBP Pearaja Tarutung. Dengan polosnya kami mengikuti acara tersebut, yang dikemudian hari baru saya tahu bahwa hal itu adalah bagian dari unjuk kekuatan untuk mempertahankan Kantor Pusat HKBP dari serangan kelompok SAI-Tiara (Pro Pdt. PWT Simanjuntak). Sejak saat itu beasiswa yang kami terima pun berhenti.
Pada tahun yang sama, penulis yang biasanya pulang ke Tarutung setiap bulan, pada saat itu tidak bisa pulang karena adanya razia dari aparat pada setiap bus, dan melarang setiap mahasiswa masuk ke Tarutung, karena dikhawatirkan merupakan bagian dari demo massa pro SSA. Sikap aparat yang sangat represif terhadap pendukung SAE Nababan, meyakinkan saya bahwa campur tangan pemerintah sangat kental dalam konflik tersebut.
Itulah HKBP, yang tidak terlepas dari karakter orang Batak yang keras, ngotot, dan mempunyai motto negative “ndang di au, ndang di ho, tumagonan di begu”. Konflik demi konflik yang terjadi dalam diri HKBP selalu diawali oleh egosentris satu pihak, sementara pihak yang lain bertahan dalam kebenarannya sendiri.
Hal yang sama yang sebenarnya masih berlangsung sampai saat ini. Banyak pihak yang tidak sejalan dengan Ephorus HKBP saat ini Pdt. DR. Bonar Napitupulu, seringkali kita dengar mengkritik dan bahkan menghujatnya dalam hal kebijakan-kebijakan intrernal (mis : mutasi Pendeta) dan eksternal (mis : dukungan politikdalam Pilkada). Kemenangan Pdt. DR Bonar Napitupulu dalam periode kedua kepemimpinannya justru kelihatannya melahirkan poros baru yang siap untuk mengambil alih jabatannya.
- Dalam hal Jabatan Ephorus, sepertinya menjadi jabatan elit yang menjadi incaran setiap pendeta HKBP. Sama seperti layaknya Pilkada atau Pilpres, jauh-jauh hari sudah kelihatan gerakan-gerakan pendukung figuir tertentu yang nelakukan safari ke gereja-gereja untuk mendapatkan dukungan dalam pencalonan jagoannya. Sehingga jauh hari sebelum Sinode Godang berlangsung sudah terlihat persaingan diantara mereka. Menurut hemat penulis, system pemilihan ephorus dalam Sinode Godang yang dilakukan dengan pemungutan suara, justru memancing perseteruan yang semakin panas. Dan inilah yang menjadi sumber konflik dari masa ke masa dalam tubuh HKBP. Seharusnya, system pemilihan pimpinan gereja yang notabene adalah gembala rohani tidak boleh diperlakukn sama dengan system pemilihan pemimpin-pemimpin sekuler. Aturan-aturan main pemilihan pimpinan HKBP, sudah diatur sedemikian mulai dari tingkat Huria, Resort, Distrik sampai tngkat pusat. Tidak ada bedanya dengan aturan dunia sekuler lainnya. Padahal, HKBP adalah gereja Tuhan, tubuh Kristus yang seharusnya senantiasa menyerahkan pemilihan gembala gerejanya kepada otoritas Tuihan bukan otoritas manusia. Sehingga menurut penulis system pemilihan pimpinan HKBP harus dilakukan secara sacral, karena yang dipilih bukan lah Presiden, Gubernur atau Bupati, tetapi seorang Gembala Rohani yang akan menggembalakan domba-domba Allah ke pada kehidupan rohani yang benar. Menuruit penulis caranya adalah sbb :
- Setiap Jemaat menyampaikan bakal calon ephorus dalam Rapat Huria, nama yang terkumpul di doakan dan diundi. Nama yang keluar dalam undian disampaikan kepada Rapat tingkat resort.
- Rapat Resort melakukan hal yang sama terhadap nama-nama yang disampaikan oleh setiap huria.
- Nama yang terpilih dalam Rapat Resort dimasukkan dalam Amplop tertutup dan disegel dengan berita acara, itulah yang harus dibawa oleh Utusan ke Sinode Godang
- Dalam sinode Godang, Amplop dari setiap resort dikumpulkan dan dipastikan keabsahan segelnya dan dimasukkan dalam kotak suara, kemudian pada saat pemilihan diawali dengan doa yang dipimpin oleh pendeta tertua, kemudian dilakukan pengundian seluruh amplop tertutup dalam kotak suara dan dipilih lima amplop.
- Amplop pertama dibuka dan ditetapkan sebagai Ephorus, seterusnya Sekjen, Kadep Koinonia, Marturia dan Diakonia.
- Selanjutnya untuk jabatan-jabatan lain, seperti Majelis Pusat, Praeses, dll boleh dilakukan cara pemilhan seperti yang berlaku saat ini.
- Dalam hal keuangan, HKBP masih memiliki berbagai kelemahan, baik dalam hal pelaporan maupun transparansi. Di tingkat Huria, sudah sangat jelas systemnya, yaitu ada verifikasi bulanan dan tahunan, dan laporan keuangannya diumumkan secara terbuka, demikian juga di tingkat resort dan distrik. Namun di tingkat Pusat ada masalah transparansi, laporan keuangan Pusat tidak sampai ke jemaat. Sehingga jemaat tidak pernah tahu kemana alokasi dana persembahan kedua yang dikumpulkan setiap minggu. Termasuk laporan-laporan setiap departemen / lembaga yang sering mendapat jatah persembahan khusus (na marboho). Pengelolaan keuangan HKBP pusat cenderung tertutup, sehingga jemaat tidak tahu apakah persembahan yang dikirimkan ke Pusat sampai kepada sasarannya atau tidak. Hal ini perlu dikoreksi, sehingga system pengawasan pengelolaan keuangan HKBP bukan hanya Top-down tetapi juga Bottom-Up.
- Dalam hal kerohanian, jemaat HKBP terkesan ketinggalan dari gereja-gereja lain (kharismatik). Pemahaman Alkitabiah yang masih kurang dikalangan jemaat merupakan salah satu indikasi kurangnya jemaat HKBP menggumuli Alkitab. Kebaktian-kebaktian Weijk kurang diminati oleh jemaat, padahal itulah saat dimana jemaat dan hamba Tuhan boleh saling berdiskusi tentang firman Tuhan. Dalam jemaat HKBP masih sangat kurang yang mau melakukan Doa keluarga, Saat Teduh dan lain-lain dalam lingkungan keluarganya. Seakan-akan ada kesan bagi jemaat HKBP, bahwa ikut kebaktian Minggu cukup untuk menunjukkan identitasnya sebagai Kristen.
- Walaupun HKBP secara jelas menyatakan dirinya sebagai gereja yang Inklusif, Dialogis dan Terbuka, namun dalam prakteknya belum bisa diwujudkan secara utuh. Keterbukaan HKBP masih sulit diterima oleh warga Kristen non-Batak, mungkin karena kendala kultur budaya dan bahasa. HKBP yang dalam ibadahnya masih mengedepankan komunikasi dalam bahasa Batak, seringkali menjadi kendala bagi jemaat yang tidak mengerti bahasa Batak untuk dapat mengikuti ibadah secara khusuk. Memang, dalam beberapa gereja HKBP sudah ada ibadah khusus bahasa Indonesia, yang dimaksudkan untuk menjangkau warganya yang tidak fasih ber bahasa batak dan juga untuk menjangkau jiwa-jiwa di luar orang batak. Selain itu ibadah alternative untuk kaum muda sudah mulai diperkenalkan untuk mengantisipasi eksodus kaum muda HKBP ke gereja-gereja lain yang menarik bagi mereka. Menurut penulis ibadah alternative untuk kalangan muda tidak ada salahnya, sepanjang tidak keluar dari tata ibadah baku yang sudah ditentukan dalam agenda HKBP. Lagu-lagu rohani baru dan full music, tidaklah menyalahi norma HKBP sepanjang itu dilakukan untuk meujui dan menyembah Allah.
- Secara umum, menurut pengamatan penulis HKBP masih merupakan gereja favorit, khususnya bagi orang tua yang berasal dari bonapasogit, namun masih dipertanyakan apakah kehadiran kaum muda dalam gereja HKBP adalah murni atas keinginan pribadi mereka atau justru hanya karena tradisi keluarga yang mengharuskan anak-anaknya ber-gereja di HKBP? Hal ini masih harus disurvey lebih lanjut. Jika ternyata hal itu dilakukan hanya karena tradisi, maka masa depan HKBP akan tergantung sampai berapa lama tradisi itu bertahan. Untuk itu perlu perhatian khusus kepada generasi muda HKBP, agar mereka benar-benar merasa memiliki HKBP, bukan sekedar mengikuti orangtuanya semata. Biro Pemuda HKBP seharusnya bekerja lebih keras untuk merangkul kaum muda HKBP, yang pada gilirannya akan menetukan arah dan masa depan HKBP pada masa yang akan datang.
Penutup
Untuk mencapai itu semua, perlu kesadaran dan kesungguhan dalam melayani, khususnya bagi para pelayan HKBP. Jika sampai saat ini, setelah 150 tahun Tuhan masih mengijinkan HKBP melewati berbagai macam persoalan yang timbul karena ego sebagian pelayannya, maka pertanyaan yang timbul adalah, apakah Tuhan masih berkenan meyelamatkan HKBP dari persoalan-persoalan yang timbul kemudian hari?. Mungkin HKBP merasa dirinya sama seperti bangsa Israel yang selalu diselamatkan Allah dari kehancuran, walaupun mereka selalu berbuat kesalahan? Jika HKBP berpikir seperti itu maka itu adalah kesombongan rohani. Jika HKBP mau tetap eksis sebagai gereja dan organisasi, maka tidak ada jalan lain, jemaat dan pelayan HKBP harus memperbaharui diri agar lebih baik, belajar dari pengalaman dan tetap meminta kekuatan kepada Tuhan. Sebagaimana tema Jubileum 150 tahun HKBP :
“Hendaklah hidupmu tetap di dalam DIA, berakar, dibangun dan bertumbuh di dalam DIA”
AMIN
DIRGAHAYU HUT HKBP !
Note :
Penulis lahir pada tanggal dan bulan yang sama dengan kelahiran HKBP, yaitu pada tanggal 7 Oktober 1971, hari ini disaat HKBP merayakan Jubileumnya ke-150 tahun, penulis juga bersukacita atas Ulang Tahun Ke-40. Selamat Ulang Tahun !
[1] (Kedua gereja ini satu kepanitiaan dalam merayakan Pesta Jubileum. Pada tanggal 20 Mei 1964, HKBP Pearaja merayakan Pesta Jubileum ke 100 tahun, tetapi untuk selanjutnya, tanggal 29 Mei merupakan tanggal resmi Pesta Jubileum yang akan dilakukan oleh kedua gereja ini).
[2] Ratu Wilhelmina dari belanda menganugerahkan Bintang Jasa ‘Order Of Orange Nassau’ kepada DR. Ingwer Ludwig Nommensen, sebuah bintang jasa yang hanya diberikan kepada orang yang dianggap luar biasa jasanya di bidang kemanusiaan.
[3] Lih. Buku “Apostel di Tanah Batak” oleh Patar M. Pasaribu
[4] Buku Ephorus Dr. J. Sihombing : “Sedjarah ni HKBP”
[5] Pdt. I. L. Nommensen mengadakan kebaktian minggu pertama di Godung Huta Dame, dan meresmikan gereja pertama yang dibangunnya di Tanah Batak, yaitu HKBP Saitnihuta (Huta Dame Saitnihuta) dan HKBP Pearaja (Kedua gereja ini satu kepanitiaan dalam merayakan Pesta Jubileum. Pada tanggal 20 Mei 1964, HKBP Pearaja merayakan Pesta Jubileum ke 100 tahun, tetapi untuk selanjutnya, tanggal 29 Mei merupakan tanggal resmi Pesta Jubileum yang akan dilakukan oleh kedua gereja ini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
HTML