Ompui Ephorus Pdt. Dr. Ludwig Ingwer Nommensen lahir 6 Februari 1834 di Pulau Nordstrand, wilayah Schleswig-Holstein, Jerman Utara. Kelahiran ompui bersamaan dengan tahun kematian dua orang pakabar Injil Amerika ke tanah Batak, Samuel Munson dan Henry Lyman, dalam sebuah insiden berdarah dengan penduduk lokal di Hutan Sisangka, Lobupining, Silindung. Sebuah kebetulan yang menjadi rahasia Allah di tanah Batak, pada saat kematian kedua hamba-Nya, lahir seorang yang kelak akan menjadi utusannya ke tanah Batak.
Perjalanan hidup Ompui layaknya sebuah drama. Dari masa kecil yang penuh penderitaan hingga menutup mata selama-lamanya sebagai orang besar yang dihormati dan dikasihi. Seumur hidupnya Ompui menjalani hidup yang penuh derita. Setiap periode dalam hidupnya seolah ditentukan untuk diwarnai gambar buram kematian orang-orang yang dikasihinya. Bukan hanya itu, kemiskinan yang membelit keluarganya membuatnya harus menjadi pekerja anak demi membantu ekonomi keluarga. Ompui juga pernah terserang patah kaki akibat ditimpa kereta kuda. Dokter mendiagnosa kelumpuhan tetapi berkat doa-doanya kakinya benar-benar pulih seperti sediakala.
Ompui adalah putra satu-satunya di antara tiga saudara perempuannya. Dia berasal dari keluarga miskin dengan ayah yang sakit-sakitan tetapi harus bekerja serabutan untuk menghidupi keluarga. Di suatu hari ayahnya bekerja sebagai tukang atap, di hari lain menjadi tukang jahit. Tetapi dalam kemiskinan mereka, ayah dan ibunya tidak pernah lupa mendidik anak-anaknya untuk selalu berdoa dan percaya kepada Tuhan, Maha Pengasih. Sejak kecil Ompui telah diperkenalkan keda Yesus yan gkelak akan memanggilnya menjadi utusan-Nya.
Kemiskinan itu mendesak Ompui untuk bekerja meringankan beban orang tuanya. Pada usia 8 tahun, Ompui bekerja sebagai gembala domba milik orang-orang kaya di kampungnya. Pagi-pagi sekali dia berangkat membawa kawanan domba ke padang rumput. Siang hari dia menjagai kawanan itu dan di sore hari menjelang senja dia menuntunnya ke kandang masing-masing. Begitu sepanjang musim hingga musim dingin tiba. Di musim itu, Ompui tidak bekerja dan bersama anak-anak dia memanfaatkan waktu untuk bersekolah.
Hingga berusia 10 tahun Ompui melakukan berbagai pekerjaan, mulai dari tukang atap hingga bekerja di ladang gandum. Dia juga pernah menjadi perawat kuda seorang bangsawan yang membawanya pada pengalaman tak terlupakan dan memegaruhi perjalanan hidupnya untuk selama-lamanya. Pada saat bekerja kaki ompui ditimpa sebuah kereta kuda yang terjatuh. Badan kereta dengan kuat menjepit kakinya dan membuatnya tidak bisa berjalan. Dokter yang mengobatinya mendiagnosa Ompui akan mengalami kelumpuhan. Alamat tidak baik buat dirinya dan keluarganya. Bagaimana dia, sebagai satu-satunya lakik-laki, bekerja tanpa kaki yang normal? Dia lantas berpaling pada Tuhan. Tiap saat dia berdoa agar Tuhan memberinya kesembuhan. Tiap hari dia membaca Kitab Suci untuk mengenal janji Kristus. Pada suatu haridia berdoa, “Ya Tuhan, berikan aku kesembuhan, dan utuslah aku kepada bangsa-bangsa kafir!”Doanya didengar dan setelah menderita selama tiga tahun kedua kakinya berfungsi normal kembali. Tetapi derita belum berakhir. Setahun kemudian ayahnya meninggal dunia. Kejadian itu memaksa Ompui menjadi tulang punggung satu-satunya di keluarganya.
Ompui terus bekerja menghidupi ibu dan saudara-saudara perempuannya dan tidak pernah lupa nazarnya menjadi seorang pekabar Injil. Tetapi sebuah penyakit hinggap di tubuhnya yang mengakibatkan telinga kanan Ompui tuli selama-lamanya.Waktu itu Ompui berusia 22 tahun. Namun penyakit itu bukan kendala baginya untuk mewujudkan nazarnya menjadi pekabar Injil. Tuhan mewujudkannya ketika Seminari Barmen yang didirikan oleh Rheinische Mission-Gesellschaft (RMG) memanggilnya tahun 1957. Ompui belajar di sana hingga tamat tahun 1861 dan belajar teologi, pengetahuan umum, dan ilmu medis. Pada waktu kuliah di Seminari itu, ibunda Ompui meninggal dunia tanpa pernah dilihatnya. Jadilah ompui sebagai yatim piatu.
Pada 20 Oktober 1861, Ompui ditahbiskan menjadi pendeta dan pada 1 November tahun itu juga berangkat ke tanah Batak. Sebelum tiba di tanah Batak, Ompui sempat singgah di Amsterdam untuk belajar bahasa dan masyarakat Batak dari H.N. van der Tuuk, seorang ahli bahasa yang sudah menerjemahkan beberapa bagian Alkitab ke dalam bahasa Batak. Ilmu yang didapat dari van der Tuuk sangat berguna bagi Ompui dalam pekerjaannya di tanah Batak.
Pada 16 Juni 1962, Ompui tiba di Sibolga dan langsung meneruskan perjalanan ke Barus. Dia tiba di sana 25 Juni 1862. Di kota pelabuhan itu Ompui tinggal di sebuah rumah kontrakan. Ompui mengundang orang-orang untuk mengunjungi rumahnya dan dari mereka Ompui belajar bahasa Melayu. Ompui juga sempat menebus dua orang budak, yang bersama orang-orang lain yang berkunjung, diajari menulis dan membaca.
Setelah fasih berbahasa Batak dan Melayu, Ompui kemudian mengunjungi orang-orang sakit dan penduduk di luar Barus. Ompui sempat singgah di Tukka dan Rambe di dekat Pakkat, Humbang dan berteman dengan para pemimpin daerah itu. Berkat persahabatn mereka, Ompui berniat menjadikan Barus sebagai pangkalan misi sebelum menembus daerah pedalaman di sebelah Timur. Tetapi niat itu ditolak oleh Residen Tapanuli. Alasannya pedalaman Humbang belum masuk kekuasaan Belanda. Sisingamamgaraja XII masih sangat kuat di sana.
Tetapi Ompui tidak patah semangat. Dia kemudian pindah ke Angkola dan tinggal di Parausorat untuk mengajar murid-murid di sekolah yang didirikan oleh G. van Asselt dulu. Selain mengajar Ompui juga mengunjungi orang-orang sakit dan memberitakan Injil. Pekerjaan itu dilakukan selama enam bulan hingga pada sebuah rapat bersama pekabar-pekabar Injil lainnya di tanah Batak pada Oktober 1863, Ompui mendengar berita mengenai keadaan di Silindung. Ompui terobsesi untuk segera berangkat ke sana terutama setelah mendapat sepucuk surat dari Inspektur RMG von Rohden di Barmen yang menulis, “Jangan lupakan Silindung!”
Ompui pun membulatkan hati ke Silindung. Pada 7 November 1863, Ompui meninggalkan dari Parausorat, dengan berjalan kaki mendaki bukti menuruni lembah dan tiba di puncak bukit Siatasbarita, di antara Lumbanbaringin, Sitompul, dan Pansurnapitu. Di sana ompui memandang keindahan lembah Silindung, keindahan hamparan sawah yang menguning dan rumah-rumah penduduk. Hatinya tertegun dan segera berdoa sepenuh hati, “Hidup atau mati, kepada bangsa yang Engkau tebus inilah aku mengabarkan Injil dan Kerajaan-Mu!”
Dalam sebuah suratnya kepada RMG di Barmen, Ompui melukiskan pengalaman rohaninya di puncak Siatasbarita:
“Dalam roh saya melihat di mana-mana jemaat-jemaat Kristen, sekolah-sekolah dan gereja-gereja. Orang-orang Batak, tua dan muda, berjalan ke gereja-gereja itu. Di setiap penjuru saya mendengar bunyi lonceng gereja memanggil orang-orang beriman datang ke rumah Alah. Saya melihat di mana-mana sawah dan kebun-kebun diusahakan, padang-padang penggembalaan dan hutan-hutan yang hijau, kampung-kampung dan kediaman-kediaman yang teratur yang di dalamnya terdapat keturunan-keturunan yang berpakaian pantas. Saya melihat pendeta-pendeta dan guru-guru orang pribumi berdiri di atas mimbar, menunjukkan cara hidup Kristen kepada yang muda maupun yang tua. Anda mengatakan bahwa saya seorang pemimpi, tetapi saya berkata, tidak.Saya tidak bermimpi. Iman saya melihat itu semua. Hal itu akan terjadi, karena seluruh kerajaan akan menjadi milik-Nya dan setiap lidah akan mengetahui bahwa Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa. Karena itu, saya merasa gembira, walaupun mereka mungkin menentang firman Allah, yang mereka lakukan tepat seperti mudahnya mencegah firman Allah dari hati mereka. Suatu aliran berkat pastilah akan mengalir atas mereka. Hari sudah mulai terbit. Segera cahaya terang akan menembus, kemudian Matahari Kebenaran dalam segala kemulian-Nya akan bersinar atas seluruh tepi langit tanah Batak, dari selatan bahkan sampai ke pantai-pantai Laut Toba.”
Tuhan mendengar doa Ompui. Dia sampai di Silindung dan berkenalan dengan pemimpin-pemimpin daerah itu. Tetapi tidak mudah bagi Ompui meyakinkan orang-orang Silindung agar menjadi Kristen. Hambatan demi hambatan ditemui namun tidak melunturkan niatnya untuk terus mengabarkan Injil. Setelah menunggu hampir setengah tahun, Ompui berhasil mendirikan Huta Dame, Saitnihuta, pada 1864 yang tercatat sebagai pargodungan pertama di tanah Batak bagian utara. Pendirian Hutadame itu berkat jasa Raja Amandari Lumban Tobing, pemimpin daerah Saitnihuta. Itulah strategi Ompui mendekati orang Batak melalui para pemimpinnya. Strategi ini terbukti berhasil sebab dengan masuknya pemimpin menjadi Kristen maka penduduknya juga akan segera mengikuti. Pendekatan kemudian dijadikan sebagai model pekabaran Injil di tanah Batak.
Di Huta Dame, Ompui berhasil membaptis 13 orang, 5 di antaranya adalah anak-anak pada 27 Agustus 1865. Setahun berikutnya dia membaptis 33 orang lagi. Para penghuni Huta Dame adalah bekas budak yang ditebus oleh Ompui dan orang-orang Kristen yang diusir dari desa akibat pindah agama. Kegiatan mereka terutama adalah belajar firman Tuhan dan pelajaran umum. Mereka juga mendapatkan layanan kesehatan yang disediakan Ompui. Di Huta Dame Ompui mendapat bantuan P.H. Johannsen, yang datang pada awal 1866. Belakangan Johannsen membuka jemaat Pansurnapitu. Tuhan memberkati usaha Ompui. Hanya bekerja sendirian, pada tahun 1865, tidak kurang dari 2000 orang Batak telah dibaptis menjadi pengikut Kristus.
Bersamaan dengan perkembangan yang cepat itu maka daya tampung Huta Dame menjadi terbatas. Sekutunya yang lain, Raja Pontas Lumbantobing, lantas menghibahkan Pearaja tahun 1871. Di sana Ompui mendirikan pargodungan yang lebih luas yang terdiri dari gereja, rumah sakit, sekolah, rumah pekabar Injildan guru-guru, rumah perawatan bayi, dan sebagainya. Sejak itu Pearaja menjadi simbol perkembangan Injil di tanah Batak, lambang penerimaan orang Batak bagi terang yang besar menyinari kehidupan mereka di dalam Yesus Kristus. Sejak 150 tahun lalu hingga kini Pearaja menjadi pusat benih pelayanan gereja yang ditabur di tanah Batak. Itulah Huria Kristen Batak Protestan.
Karya Ompui kemudian berkembang bersamaan dengan kedatangan para pekabar Injil utusan RMG lainnya. Injil segera menyebar ke daerah-daerah di luar Silindung. Di mana-mana didirikan gereja, sekolah, dan rumah sakit. Hal ini membuat jumlah orang Batak yang menjadi Kristen semakin besar jumlahnya. Mereka melihat bahwa menjadi Kristen adalah jalan terbaik untuk keluar dari kebodohan. Menjadi Kristen seperti sama halnya memasuki hidup yang terang dipenuhi cahaya.
Dengan perkembangan yang pesat itu maka Ompui mengupayakan agar jemaat-jemaat yang tersebar ditata berdasarkan Aturan Paraturan (AP) yang baku. Usul ini disetujui oleh Kantor Pusat RMG dan pada tahun 1881 diterbitkan AP pertama di HKBP. Memang sebelumnya, Ompui sudah menyusun AP di Huta Dame. Tetapi rumusan yang pertama itu tentu saja tidak memadai bagi seluruh orang Batak. Bersamaan dengan berlakunya AP 1881 itu, maka Ompui diangkat menjadi Ephorus yang diberi wewenang memimpin HKBP. Beliaulah yang tercatat sebagai Ephorus HKBP pertama dan terlama. Ompui menjabat Ephorus selama 37 tahun.
Karya pelayanan Ompui bukan hanya mengenai penataan organisasi HKBP. Ompui juga berperan dalam usaha-usaha penerjemahan Alkitab dan literatur Kristiani ke dalam bahasa Batak. Pada tahun 1874, Ompui menerjemahkan Katekhismus Kecil Marthin Luther dan Perjanjian Baru (1876). Selain itu lagu-lagu rohani berbahasa Jerman diterjemahkan ke dalam bahasa Batak dan diajarkan ke jemaat-jemaat.Ompui juga mendorong percepatan peran para guru dan pendeta Batak dalam pelayanan gereja. Peran para pendeta Batak itu diperbesar dengan berdirinya Pardonganon Mission Batak (PMB) tahun 1899. Organisasi ini adalah wadah para pendeta Batak dalam pekabaran Injil ke luar tanah Batak mencakup ke Pakpak, Dairi, dan Simalungun. Dengan dukungan penuh Ompui, PMB juga mengabarkan Injil hingga ke kepulauan Mentawai di Sumatera Barat.
Pada tahun 1890, Ompui pindah ke Sigumpar, Toba. Di sana Ompui juga berhasil membangun basis kekristenan yang besar sebagaimana dia lakukan di Silindung. Ompui berada di Sigumpar hingga meninggal dunia 23 Mei 1918. Pada saat kematiannya warga jemaat HKBP sudah mencapai 180,000 orang meliputi orang-orang Batak di Toba, Angkola, Pakpak Dairi, dan Simalungun dengan dilayani 34 pendeta Batak dan 788 guru jemaat. Karya pelayanan Ompui adalah salah satu faktor yang menjadikan HKBP sebagai gereja terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Selama 56 tahun melayani orang Batak, tidak terkira dedikasi pelayanan Ompui. Beberapa karya tulis mengenai kehidupannya memaparkan betapa kaya Ompui Nommensen dalam kasih tanpa pamrih kepada orang Batak. Pasang surut yang terjadi dalam kehidupan orang Kristen Batak kadang-kadang menjadi pergumulan berat buatnya tetapi tidak sedikit pula sukacita yang menambah semangatnya.
Stephen Neill, seorang ahli sejarah misi menempatkan Ompui Nommensen salah satu pekabar Injil terbesar sepanjang sejarah. Sebutan itu tidak berlebiuhan sebab dua organisasi gereja Lutheran di Amerika Serikat, ELCA dan LCMS, menetapkan 7 November sebagai hari peringatan orang suci dalam kalender gereja mereka. Pada setiap hari itu Ompui Nommensen, John Christian Frederick Heyer (1793-1873) pekabar Injil Amerika Serikat pertama yang diutus ke luar negeri dan pendiri jemaat Andhra Pradesh, India, serta Bartholomäus Ziegenbalg, (1683-1719), warga jemaat pertama yang menjadi pekabar Injiul ke India, didoakan segenap warga jemaat. Kepada Tuhan, seluruh jemaat Lutheran Amerika berdoa:
“Tuhan Maha Kuasa dan Maha Abadi, kami berterimakasih untuk hamba-Mu Ludwig Nommensen, yang Engkau panggil mengabarkan Injil kepada orang-orang Batak di Sumatra. Bangkitkanlah, kami memohon, di sini dan di seluruh jagad, para pekabar Injil untuk memberitakan kerajaan-Mu, mampukan gereja-Mu memberitakan segenap kekayaan Juruselamat kami Yesus Kristus; yang hidup dan bangkit bersama-Mu dan bersama Roh Kudus, satu Tuhan, kini dan selama-lamanya.”
Untuk semua dedikasinya, orang Batak memberinya sebutan Ompui, sebutantertinggi yang sepadan dengan semua yang dilakukannya. Sejak itulah tradisi penyebutan Ompui kepda Ephorus HKBP dilakukan. Sebutan itu mengindikasikan usaha orang Batak yang menempatkan jabatan keagamaan di dalam struktur sosial budaya. Sebutan itu juga menjadikan HKBP memiliki ciri khas yang tidak ditemui di gereja-gereja lain di dunia ini. Selain itu Ompui Nommensen juga digelari sebagai Rasul Orang Batak. Untuk seluruh jasanya Ompui diberi gelar doktor honoris causa dari Universitas Bonn, Jerman, serta tanda jasa Dutch Order of Orange-Nassau dari Kerajaan Belanda. HKBP sendiri menghormatinya dengan menjadikan namanya sebagai nama universitas HKBP yang didirikan tahun 1954.
Ompui menikah dengan Caroline Margarete Gutbrod pada tahun 1866. Tetapi pada tahun 1887, Caroline meninggal dunia di Jerman. Pada tahun 1892 Ompui menikah lagi dengan Christine Harder. Tetapi Christine juga mendahului Ompui tahun 1909. Christine dimakamkan di Sigumpar. Dari kedua pernikahan itu Ompui dikaruniai tujuh anak yaitu Lucia, Ludwig, Christian, Jonathan, Marcus, Margareta, dan Maria. Putranya Jonathan (1873-1950) mengikuti jejak Ompui dengan menjadi pendeta dan sempat melayani di Sigumpar dan Laguboti pada kurun waktu 1900-1939. Putranya yang lain Chritian mengalami mati dengan tragis. Pada tahun 1900 Christian tewas dibunuh di daerah Pinangsori saat bertugas sebagai pengawas pembangunan perkebunan kopi di daerah itu. Tetapi di dalam semua pergumulan itu Ompui Nommensen tetap tegar dan berdiri teguh menjawab panggilannya. Dia memberi contoh amat baik bagi siapa saja. Dengan amat baik Ompui memadukan kelembutan, ketulusan, keberanian, kesungguhan, kesabaran, dan ketegaran dalam satu kepribadian. Ompui memang pantas disebut sebagai Rasul Orang Batak.
Sumber : hkbp.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
HTML