I. Pendahuluan
Ada pepatah Batak mengatakan : ‘Togu Urat ni Bulu, Toguan Urat ni Padang, Togu nidok ni Uhum, Toguan nidok ni Padan”, artinya Sekuat-kuatnya ikatan hukum, lebih kuat ikatan Janji. Bagi Orang Batak Janji adalah komitment yang harus diijalankan bahkan sampai generasi ke generasi berikutnya. Janji itu disebut PADAN. Ada Janji ( padan ) di antara marga-marga Batak, sebagai contoh : padan antara marga Nainggolan dan Siregar, padan marga Sitompul dan marga Tampubolon, padan marga Sihotang dan marga Lumbangaol, dst. Janji (padan) tersebut tidak tertulis namun sangat kuat dan teguh diyakini serta dipedomani. Tidak boleh ada melawan atau melanggar, sebab dikuatirkan pasti menimbulkan efek kurang sedap.
Demikian juga dalam gereja HKBP, proses pemberkatan pernikahan selalu diawali dengan Acara “Ikat Janji ” atau “mar-PADAN di jolo ni Debata” yang biasanya dilakukan 2 minggu sebelum acara pemberkatan nikah. Jadi tulisan ini tidak akan membahas tentang parpadanan marga, namun tentang parpadanan/perjanjian pranikah yang dinamai “martumpol”.
II. Martumpol
Martumpol berasal dari akar kata “tumpol”, yang berarti berhadap-hadapan, tatap muka, dan dialog. Dalam kegiatan martumpol dilibatkan sejumlah pihak keluarga berdasarkan Dalihan Na Tolu, yakni dari pihak PARANAK dan PARBORU. Patumpolon merupakan pengikatan janji iman antara kedua mempelai, dan kedua pihak dari Paranak dan Parboru, dengan didampingi oleh para pelayan sebagai janji. Kegiatan itu biasa diadakan di dalam gedung gereja, bukan diluar gedung gereja.
Dalam Adat Batak acara “Martumpol” ini tidak terlepas dari tahapan acara pernikahan secara Adat Batak Kristen, sehingga kadang sulit membedakan apakah Martumpol merupakan bagian acara Adat atau Gereja? Karena ternyata dalam AGENDA HKBP, tidak ada tata kebaktian yang mengatur tentang perjanjian tersebut. Yang ada surat parpadanan yang sekarang dibacakan kedua mempelai. AGENDA HKBP hanya memuat tata acara dan konseling pastoral untuk pernikahan, pamasumasuon. Walaupun demikian acara Martumpol dianggap penting dalam gereja HKBP, sebab janji yang terucap dalam acara tersebut bukanlah main-main melainkan perjanjian dengan TUHAN. Seharusnya jika memang kegiatan martumpol adalah acara seremonial gereja maka sudah semestinya dibuatkan tata cara kebaktiannya sehingga tidak terjadi perbedaan pemahaman. Kalau memang kegiatan itu cukup diberikan kepada sintua atau pendeta diperbantukan harus menjadi komitmen, tidak lagi jika “boru/anak ni na mora” Pendeta Resort turun tangan menanganinya. Sebaliknya Jika kegiatan martumpol hanya sebatas tradisi adat Batak maka kegiatan tersebut tidak bisa diselenggarakan di dalam gedung gereja, cukup di gedung atau aula pertemuan.
Di dalam pelaksanaan martumpol kedua mempelai dan kedua pihak dimaksud juga dipertanyakan kemungkinan permasalahan yang dapat menghambat proses pernikahan agar proses membuka rumah tangga Kristen benar-benar beralaskan pada Tuhan Yesus, dan merupakan rumah tangga yang baru. Setelah beres urusan ini barulah gereja mewartakan sebanyak 2 kali dalam 2 minggu berturut-turut kecuali jika ada dispensasi sehingga cukup sekali diwartakan.
III. Urgensi Martumpol
Ikat Janji atau Martumpol diangap penting untuk menunjukkan bahwa pernikahan Kristen bukan sesuatu yang main-main, atau yang boleh dilakukan secara instan. Tetapi dalam peresmian ikatan pernikahan perlu kehati-hatian untuk meminimalisir permasalahan yang mungkin timbul di kemudian hari. Majelis gereja akan memeriksa kesiapan dan kesungguhan calon mempelai untuk menikah. Selain kelengkapan administrasi (akta baptis dan sidi, surat keterangan dari gereja asal bagi calon yang berasal dari luar jemaat bersangkutan) Majelis, biasanya dahulu Guru Jemaat, akan menanyakan langsung apakah mempelai masih atau tidak lagi memiliki ikatan dengan perempuan/laki-laki lain. Sesuai dengan tradisi adat lama, orangtua/ wali pengantin juga akan ditanya apakah mereka pernah membuat ikatan dengan pihak lain untuk berbesan. Jika semua sudah beres maka Majelis Gereja akan meminta mempelai dan orangtua/ wali serta para saksi menandatangani surat perjanjian atau kesepakatan untuk menikah. Adapun isi surat perjanjian itu kira-kira sbb :
“ Kami dengan kesungguhan dan kejelasan hati ingin menikah. Kami berjanji akan saling mengasihi sebagaimana pernikahan Kristen yang sejati. Kami juga berjanji tidak akan bercerai kecuali oleh diceraikan oleh kematian. Kami harus sepakat mentaati hukum dan aturan kekristenan gereja HKBP. Keanggotaan jemaat kami adalah benar dan kami juga tidak lagi memiliki ikatan dengan pihak lain. Seandainya ada yang hambatan dalam rencana pernikahan kami maka akan terlebih dulu kami selesaikan sebelum kami meminta pemberkatan nikah dari gereja.”
Namun jauh lebih penting daripada itu kedua calon mempelai diminta untuk berjanji (marpadan) di hadapan Tuhan bahwa mereka benar-benar serius untuk melangkah ka dalam pernikahan dan tidak memiliki ikatan apapun dengan lelaki/perempuan lain.
Janji itu pun akan diuji selama 2 minggu dengan mewartakan dalam ibadah umum tentang rencana pernikahan tersebut, untuk mendapatkan respon dari pihak lain apabila ada yang merasa keberatan dengan pernihakan tersebut.
Dengan dasar penjelasan di atas, jelas bahwa acara Martumpol mutlak harus dilakukan sebagai kegiatan pra-nikah disamping konseling pastoral yang memang memjadi kewajiban gereja untuk membekali calon mempelai dalam menghadapi perkawinan.
IV. Penutup
Martumpol itu penting, namun kita tidak memungkiri bahwa pada jaman sekarang telah terjadi pergeseran dalam memaknai acara Martumpol. Di banyak gereja terutama di kota-kota partumpolon telah dibuat menjadi pesta besar, padahal pemberkatan belum dilakukan, dan pasangan belum resmi menikah. Akibatnya makna Martumpol sebagai acara Ikat Janji (Padan) di hadapan Tuhan (konsep rohani) yang ditandai dengan pencatatan administratif dan penandatanganan kesepakatan untuk melangsungkan pernikahan menjadi kabur oleh kemeriahan pesta. Di Bonapasogit acara Martumpol dilakukan khusus dan terpisah dari tahapan acara adat lainnya, namun di kota-kota besar Martumpol selalu dilanjutkan dengan acara adat “Mar Ria Raja / Mar Tonggo Raja “, sehingga konsentrasi terbagi untuk urusan duniawi ( Adat dan segala macam keruwetannya ). Alasannya klise “ Masalah waktu ”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
HTML