”Aku Tidak Mendapati Kesalahan Apa pun pada-Nya”
(Luk 23:4,14,22)
Sdr terkasih dalam Yesus
Kristus,
Hari ini, kita memperingati Jumat
agung (hari kematian Yesus Kristus) dan hari Minggu kita akan merayakan Paskah (hari
kebangkitan Yesus), sebuah peristiwa penting dalam sejarah kekristenan.
Sedemikian pentingnya, sehingga harus dirayakan setiap tahun oleh seluruh umat
Kristen di dunia ini. Sebenarnya hakekat kematian dan kebangkitan Yesus jauh
lebih besar dari pada kelahiranNya sendiri. Setiap orang merayakan hari
kelahiran sebagai hari sukacita, tetapi orang Kristen merayakan kematian dan
kebangkitan sebagai hari kemenangan.
Dalam kronologis kematian dan kebangkitan
Yesus, banyak peristiwa dan pernyatan yang bisa jadikan renungan. Salah satunya
ialah nats kita saat ini. Ketika Yesus dihadapkan kepada Pontius Pilatus ada
tiga pernyataan penting yang disampaikan Pilatus
kepada orang-orang Yahudi yang intinya menyatakan :” Aku Tidak Mendapati
Kesalahan Apa pun pada-Nya”. Penyataan ini mengingatkan kita bahwa
perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bukanlah hal mudah.
Kesaksian Kitab Injil mengenai proses pengadilan Yesus yang berakhir dengan
vonis hukuman mati oleh Pilatus , penguasa
Romawi setaraf Gubernur pada waktu itu (Mat 27: Luk 23 : Mark 15).
Keempat Injil memberitakan bahwa para imam
Jahudi bersekongkol untuk membunuh Yesus karena pekerjaan dan ucapan Yesus
dianggap merongrong kewibawaan agama Jahudi. Yesus harus disalibkan dan orang
Farisi mempengaruhi publik untuk membebaskan Barabas penyamun, dan menyalibkan
Yesus. Pengadilan yang dilakukan oleh Pontius Pilatus menjadi pengadilan
sandiwara dan formalitas saja. Sesungguhnya hukuman sudah diputuskan sebelum
sidang pengadilan itu berlangsung.
Mungkin akan muncul pertanyaan, mengapa
Paulus ragu? Keraguan itu mencuat ketika ia dihadapkan antara kepentingannya
secara pribadi dengan kepentingan yang lain. Orang yang ragu melakukan dan
bertentangan dengan mata hati atau kata hati, hasilnya juga akan mempengaruhi
identitas dan integrity seseorang, termasuk Pilatus .
Ia di satu sisi ingin memnduduki dan memiliki jabatan terhormat, di sisi lain
ia bergumul antara kebenaran dan ketidakbenaan.
Menghukum atau menjatuhkan kesalahan, vonis,
menjadi pergulatan antara salah dan benar. Tentu memperjuangkan agar berpihak
kepada yang benar dan berkadilan, tidaklah mudah. Ia butuh proses. Yaitu proses
untuk menjembatani antara kebutuhan pribadi dengan kebtuhan Tuhan sendiri.
Amat disayangkan, ternyata Pilatus
bukan penguasa yang memiliki pribadi yang tegas, katakan salah jika salah dan
benar jika benar. Tampak di sana ,
ketidakkonsistenan Pilatus , yang telah diukir
dalam sejarah perjalanan hidupnya. Akibat dari semua penampakan integrity sang
pemimpin menjadi lemah, sarat dengan kelemahan dan mengakibatkan kewibawaaannya
diragukan. Sebagai penguasa dan tokoh pemerintahan, jelas dia adalah seorang
politikus.
Mengenai Yesus yang dihadapkan oleh para
pemuka agama kepadanya untuk diadili, Pilatus
dalam hati kecilnya sebenarnya yakin bahwa Yesus tidak bersalah apapun,
sehingga tidak seharusnya dipidana. Namun demi mempertahankan popularitasnya di
kalangan rakyat, dan berkaitan dengan itu kedudukan dan jabatannya di
pemerintahan, serta untuk memperbaiki hubungannya dengan Herodes, akhirnya dia
tega mengorbankan Yesus dan menghukum-Nya.
Sungguh teramat aneh, dalam hal ini Yesus
telah menjadi korban dari fanatisme dan manipulasi para pemuka agama, yang tak
mustahil sebenarnya hanyalah wujud dari egoisme, ambisi dan arogansi pribadi
dan golongan belaka. orang yang dijuluki penguasa dan sipengendali teriorial
itu mendesak, agar Yesus memberi jawab atas tuduhan dan pertanyaan yang
dilontarkan kepada Yesus. “Engkau inikah Raja Orang Yahudi?”, dan pertanyaan
teologis/filosofis: “Apakah kebenaran itu?”, kata Pilatus
dalam sidang pengadilan kepada sang Yesus. Sejarah mencatat, Orang Nazaret itu
mesti dihukum mati demi memuaskan keinginan para pemimpin agama beserta massa pengikut mereka, dan mengamankan jabatan politik
sang penguasa, Pilatus . Dan Pilatus membasuh
tangannya! (Mat 27:24). Pilatus memilih
mengingkari kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini Yesus telah menjadi korban
ambisi dan oportunisme politik penguasa, demi popularitas dan kelestarian
kedudukannya
Pengadilan pun memutuskan, bahwa Yesus
bersalah, meski Pilatus sendiri berkata: “Aku
tidak mendapat kesalahan apa pun pada-Nya”. Memang logika hukum dan kenyataan
keadilan tidak selalu berjalan seiring. Antara praktek dan kenyataan sering
tidak sejalan.
Kenyataan itu mengingatkan kita bahwa perjuangan
kita masih panjang. Maka seruan untuk tidak berputus asa rasanya tepat untuk
dikemukakan. Dalam pernyataan teologi, Jumat Agung mengingatkan kita,
penderitaan bukan kata akhir, meski Yesus harus menjalani hal itu. proses
pengadilan Yesus tersebut, Yesus telah menjadi korban dari keadaan, di mana
fanatisme sempit dan kelicikan para pemuka agama, oportunisme dan ambisi
penguasa, serta emosi massa
yang terhasut dan tak terkendali, secara bersama-sama telah melahirkan vonis
pidana mati yang sewenang-wenang dan tidak adil itu.
Di sana ,
di kayu salib tergantung selama tiga jam, memberi sinyal kepada kita bahkan
untuk saat ini umat Kristen diingatkan untuk terus berupaya untuk menghentikan
kekerasan, diskriminasi, ketidakadilan, ketidakjujuran, dan eksploitasi
manusia. idup manusia lekat dengan kekerasan. Hal ini ditandai dengan makin
maraknya bentuk kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Tema konflik yang
muncul kepermukaan ditandai dengan tindak kekerasan. Bumi penuh dengan aroma
kekerasan. Benar ungkapan Jacques Ellul: kekerasan yang satu akan melahirkan
bentuk kekerasan yang lain.
Sebab, fokus salib itu adalah dialamatkan kepada manusia dan kemanusiaan
akan mendorong untuk menghentikan hukum yang menindas, yang pada gilirannya
akan memampukan kita meyakini membangun kesejahteraan, kebudayaan dan pengetahuan
yang luhur, mengurangi kemiskinan, keterbelakangan, dan pengangguran.
Akhirnya, hidup Yesus juga lekat dengan
kekerasan, meskipun Yesus tidak pernah melakukan tindak kekerasan. Tangan Yesus
selalu penuh dengan cinta kasih, menolong orang yang membutuhkan, dan melakukan
kebaikan. Tetapi dunia riil, di sekitar Yesus bukanlah dunia yang steril tanpa
noda. Di akhir periode hidup Yesus pun, akhirnya Ia menjadi korban tindak
kekerasan dari orang- orang yang amat dikasihiNya. Tindakan yang sangat biadab
untuk zaman itu, dan mengkambing-hitamkan orang yang tidak bersalah dengan
disalibkan. Namun roh dan semangat pembaharuan yang dihembuskan oleh Yesus
mengusik kemapanan mereka. Dalam sekejap, berkembang cepat menjadi suatu
tragedi. Yesus datang membawa misi religiusNya, yaitu misi Allah. Tujuannya,
menghadirkan suasana “Kerajaan Allah” di dunia. Wujudnya, damai sejahtera yang
bercirikan kebenaran dan keadilan menjadi suatu kenyataan dalam hidup
sehari-hari (Lukas 4:16-20).
Dengan demikian, penderitaan, kesengsaraan dan wafat-Nya itu bukan
merupakan kekalahan dan kegagalan missi-Nya (Injil Matius 16:21-28; 17:22,23;
20:17-19; 26:1-5). Semasa hidup-Nya di dunia ini Yesus berkali-kali telah
menyatakan kepada para pengikut-Nya bahwa demi karya penyelamayan-Nya bagi
dunia dan umat manusia, Dia harus mengorbankan Diri dengan menjalani
penderitaan dan kesengsaraan sampai mati.
Namun jika seandainya,
kasus ketidak adilan dalam pengadilan Yesus
kita tinjau kembali dan timbul pertanyaan : “Siapakah yang sebenarnya
paling bersalah (terdakwa utama) dalam peristiwa pembunuhan Yesus? Mungkin akan
banyak nama yang kita sebut, apakah Yudas si penghianat?, Imam-iman besar yang
menjadi provokator? orang-orang Farisi kah? Apakah Pilatus yang memvonis Yesus
dalam keraguan? Apakah tentara-tentara Roma yang menyiksa Yesus sepanjang via
dolorosa?
Sesungguhnya nama-nama
tersebut bukanlah tersangka utama kasus pembunuhan Yesus, mereka hanyalah alat
yang dipakai oleh Allah sendiri untuk menggenapi tugas penebusanNya sekaligus
menjadi gambaran sifat dan kebobrokan manusia masa itu dan masa kini. Tetapi
jika kita renungkan dengan benar, maka sebenarnya kitalah sebagai tersangka
utama yang menyebabkan Yesus mati. Dosa kitalah yang membuat Yesus harus
menanggung sengsara hingga disalibkan.
Oleh karena itu, ketika kita geram dan marah melihat kekejaman yang
dilakukan orang Yahudi dan tentara Roma terhadap Yesus, sesungguhnya kita harus
geram dan marah kepada diri kita sendiri ketika kita masih melakukan dosa.
Renungan
-
Mari
kita hindari integritas Pilatus yang mendua
itu agar kita lebih memilih Yesus yang memberi dirinya untuk korban orang lain,
agar mereka selamat.
-
Ketika
kita masih melakukan dosa, ingatlah bahwa Yesus menderita dan mati di kayu
salib adalah karena kita. Amin
Sumber : Pdt. Midian KH Sirait, MTh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
HTML