Hai Suami, Kasihilah Istrimu
Nats : Efesus 5:22-33
5:22 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan,
5:23 karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh.
5:24 Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.
5:25 Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya
5:26 untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman,
5:27 supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.
5:28 Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri.
5:29 Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat,
5:30 karena kita adalah anggota tubuh-Nya.
5:31 Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
5:32 Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.
5:33 Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya
PENDAHULUAN
Pernikahan bukanlah sekedar lembaga perkawinan, apalagi kalau dianggap bahwa munculnya suami-isteri / keluarga hanyalah sekedar bakat naluriah yang terjadi di dunia manusia, sama seperti binatang yang berpasangan hanya untuk prokreasi / punya anak. Kita sering tidak mau mengerti pernikahan dari sudut Pencipta pernikahan itu sendiri dan selama manusia tidak mau taat pada Tuhan, manusia tidak pernah mengerti.
Paulus membukakan satu prinsip yang begitu agung tentang pernikahan, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.” (ay.31).
KETERANGAN
Kalau kita membaca Efesus 5 mulai dari ayat ke 22, kita akan dihadapkan kepada polemik-polemik. Kita tidak pernah mengerti bahwa pernikahan sesungguhnya adalah hubungan antara Kristus dengan jemaat dan itu berarti, pernikahan bukanlah sekedar adanya perasaan cinta di antara seorang laki-laki dengan perempuan. Pernikahan adalah satu representatif/ perwakilan dari hubungan Kristus dengan jemaat, sehingga di saat kita dengan isteri kita maju ke depan altar, itu berarti kita sedang mewakili Kristus dengan jemaat dan hubungan antara Kristus dengan jemaat itu harus di tonjolkan/ dinyatakan melalui kehidupan pernikahan. Oleh karena itu, orang seharusnya dapat melihat hubungan antara Kristus dengan jemaat lewat pernikahan. Namun yang sungguh disayangkan adalah kalau orang Kristen ketika menikah tidak mengetahui konsep ini. Akibatnya, begitu banyak orang Kristen yang ketika masuk dalam pernikahan tidak mengerti mengapa pernikahan harus sedemikian uniknya dan mengapa gereja / kekristenan begitu serius mengurus pernikahan karena memang di dalamnya bukan sekedar pernikahan melainkan ada representasi antara Kristus dengan jemaat. Jikalau menikah menggambarkan representasi Kristus dan jemaat, maka apakah yang harus dimunculkan di dalam pernikahan Kristen?
1. Pernikahan harus bersifat agung dan sakral karena pernikahan merupakan suatu relasi yang bersifat spiritual. Isteri taat mutlak kepada suami seperti jemaat taat mutlak kepada Kristus dan suami mengasihi isteri seperti Kristus mengasihi jemaat. (ay.22-25)
Keagungan pernikahan harus dimulai dari sejak pertama kali kita menikah dan dijaga di dalam perjalanan pernikahan. Kita tidak boleh membiarkan pencemaran terjadi di dalam pernikahan kita. Kenyataannya, kita sering tidak mengerti hal ini sehingga seringkali “Keagungan Pernikahan” (the glorious married) digantikan dengan “Kemewahan Pernikahan” (the glamour married). Banyak pernikahan yang terlalu mewah tetapi tidak terdapat keagungan di dalamnya. Pernikahan tidak tergantung dari berapa mewahnya tetapi betapa agungnya. Agung dan mewah merupakan dua hal yang berbeda.
Kita sering menghadiri pesta pernikahan yang dirayakan secara besar-besaran dan mewah dengan menampilkan hiburan artis-srtis top dan makanan-makanan mewah, sehingga para undangan terfokus kepada hiburan dan makanan tersebut dan bahkan sering mengacuhkan mempelai yang seharusnya menjadi fokus perhatian. Dalam adat Batak misalnya, proses adat seringkali jauh lebih diperhatikan daripada keberadaan mempelai. Dalam keadaan tersebut seluruh acara itu sangat menghina mereka yang menikah seolah-olah mereka hanya hiasan di depan saja.
Prinsip pertama dalam pernikahan adalah bahwa ibadah pernikahan haruslah sungguh-sungguh agung, dijaga dan dipelihara. Seluruh jalannya acara harus dijaga agar orang yang datang dapat melihat keagungan pernikahan itu.
Kita berada di dalam tantangan dunia yang besar. Bagaimana kita mau membangun pernikahan yang agung jikalau kita sudah memulainya tanpa keagungan? Jikalau kita sudah melecehkan pernikahan kita sendiri maka kita tidak mungkin dapat membangunnya dengan baik. Bukan mengatakan bahwa adat/pesta pernikahan tidak penting, tetapi yang lebih penting adalah sakralitas dari pernikahan itu sendiri.
2. Pernikahan juga mengandung aspek pertanggung-jawaban dari kita sebagai duta besar Allah di dalam dunia ini. Jikalau dunia ingin melihat mengenai bagaimana Allah kita, mereka seharusnya dapat melihatnya dari hubungan suami-isteri orang Kristen. Seorang anak yang mau melihat siapa Allahnya seharusnya dapat melihatnya dari hubungan orang tuanya. Melalui hubungan suami-isterilah dunia dapat melihat secara konkrit hubungan antara Kristus dan jemaat. Jikalau kita gagal merepresentasikan hubungan ini maka yang rusak bukan hanya kita melainkan nama Kristus dan jemaat.
Jikalau banyak orang Kristen yang menikah dan kemudian bercerai maka statistik akan berbunyi bahwa banyak pernikahan Kristen yang pada akhirnya hancur, sehingga hal itu menunjukkan bahwa moralitas Kristen tidak baik.
Oleh karena itu pernikahan Kristen haruslah merupakan sesuatu yang diperjuangkan baik-baik, dengan takut dan gentar. Ini tidak terjadi secara otomatis. Banyak suami-isteri yang merasa pernikahan mereka lambat laun menjadi begitu membosankan dan serasa hanya berputar-putar, karena mereka sebenarnya tidak tahu apakah itu tujuan pernikahan. Jikalau mereka tahu betapa pentingnya arti pernikahan mereka, maka suami-isteri akan bersama-sama mencari bagaimana mereka dapat menjadi duta besar yang bertanggung-jawab.
3. Pernikahan orang kristen harus ditandai dengan sifat kekal. Hubungan Kristus dengan jemaat tidak dapat dihentikan dan tidak mengenal istilah kontrak, demikian pula hubungan suami-isteri berlangsung sampai kematian memisahkan (Mat 19:6 : Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia). Di dalam hubungan seperti ini janganlah kita mengharapkan kesempurnaan tetapi lebih merupakan proses yang harus digarap terus-menerus sehingga menjadi sempurna.
Apabila kita mengerti ketiga aspek ini maka kita mengerti apa artinya jika dikatakan bahwa pernikahan Kristen bukanlah sembarang pernikahan tetapi menjadi suatu representasi dari hubungan Kristus dan jemaat. Kita perlu membagi kebenaran ini kepada sesama orang Kristen karena terlalu sedikit orang Kristen yang mengerti hal ini.
SIKAP ISTRI
Dalam ay. 22 dikatakan : “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” Keluarga kristen harus mencerminkan satu gambaran representasi yang begitu agung, antara Kristus dengan jemaat. Dan ide ketaatan kepada Kristus inilah yang menjadi sumber daripada ketaatan seorang istri kepada suaminya, satu penundukan diri yang berpusat kepada Kristus. Opini-opini umum yang begitu kuat menghantam konsep pemikiran dan keputusan terpenting dalam hidup kita seringkali menyebabkan suatu tekanan bagi wanita, sehingga akhirnya mereka berpikiran bahwa tidak akan ada pria yang mau menikah dengannya jikalau ia tidak mendandani diri dengan segala macam perhiasan duniawi. Dan disitu membuat ide seorang isteri sejati yang dicari pria sangat paradoks digumulkan di tengah dunia. Dan saat ini kita melihat bahwa konsep penundukan dalam Efesus kembali diungkapkan oleh Petrus di dalam I Ptr 3:1: “Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya.” Konsep ketaatan disini bukanlah ketaatan yang disalahtafsirkan atau yang sengaja ditekankan oleh orang-orang dunia, khususnya kaum feminisme. Ayat itu menegaskan dengan sangat praktika bagaimana seorang istri tunduk pada suami, bukan dengan cara mengepang-ngepang rambut dan segala macam aksesori yang dikenakan melainkan dengan memiliki keindahan batiniah (inner beauty) dan kesalehan hidup sebagai anak Tuhan. Apa yang digambarkan di dalam I Petrus hanya merupakan satu ilustrasi, yang idenya ingin memperlihatkan dandanan dan keindahan lahiriah yang tampak diluar saja. Alkitab memberikan satu peringatan keras, bagaimana seorang wanita dapat menjadi seorang wanita sejati. Dr. Wayne Grudem, seorang profesor yang cukup terkenal saat ini mengatakan: “Penundukan seorang isteri kepada suaminya bukanlah penundukan yang membabi-buta melainkan penundukan yang menjadi kodratnya dia untuk mau takut dan taat kepada Kristus.” Jadi, seorang isteri yang sejati harus kembali kepada esensi yang sejati, dengan kemurnian hatinya ia menggarap pribadinya serta memiliki kerelaan untuk taat kepada Allah. Ketika ia mulai mau menundukkan diri kepada Kristus sebagai pusat kehidupannya maka itu akan memunculkan sikap penundukan kepada suaminya dan kondisi kodrat kewanitaan itu disebut Womanhood. Konsep ini sudah muncul sejak di jaman Abraham (sebelum orang Yahudi ada), dimana Sara begitu tunduk kepada Abraham dan memanggil suaminya sebagai tuannya.
Selanjutnya kita akan melihat beberapa hal bagaimana seorang isteri taat kepada suaminya:
a. Penundukan yang bukan karena dipaksakan melainkan penundukan dari spiritual.
Ketika seorang wanita hanya memperhatikan aspek eksternal dan gagal membentuk diri maka itu menghancurkan dirinya. Saya mendengar cerita tentang seorang gadis yang kelihatannya baik dan berparas cantik, namun telah membatalkan pernikahannya dengan seorang laki-laki karena ada lelaki lain yang lebih keren, yang menawarkan rumah dan mobil. Dengan mudahnya ia berpaling dari pacarnya karena pacarnya tidak mampu memberikan rumah dan mobil kepadanya. Namun akhirnya ketika gadis itu sudah dibawa pergi kurang lebih satu bulan lamanya, ia akhirnya ditinggalkan begitu saja. Maka beberapa orang yang dulunya adalah teman pacarnya bertekad ingin membalas sakit hati temannya dengan mengerjainnya. Maka ketika saya membaca tentang hal ini, saya sekali lagi mengaminkan apa yang pernah dikatakan oleh Pdt. Stephen Tong, yaitu bahwa cantik itu bahagia sekaligus bahaya. Hal ini bukanlah hal yang boleh dipermainkan tetapi harus kembali kepada esensi yang sejati, yaitu bagaimana kita mempunyai kerinduan menundukkan diri, yang dimulai dari ketakutan kita akan Allah.
b. Bagaimana melalui penundukan seorang isteri, ia dapat memenangkan suaminya. Ayat ini mengimplikasikan bahwa isterinya sudah bertobat dahulu sebelum suaminya bertobat. Berarti di dalam konsep ini kita melihat bahwa ada isteri yang dapat taat kepada Tuhan dulu dan baru setelah itu bagaimana ia memenangkan suaminya. Dalam kasus seperti ini kita melihat bahwa ternyata menundukkan diri kepada suami itu bukan sembarangan, tidak berarti harus tunduk sekalipun diajak berdosa, tetapi tunduk di dalam konsep positif yang mengacu kepada kebenaran. Sehingga bagaimana kita menundukkan diri dalam arti kita mau mengerti apa yang ia inginkan, pikirkan dan putuskan lalu kita merespek dan menghormati dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi keputusan suami kita. Hal ini tidak menutup kemungkinan sang isteri memiliki suatu pemikiran sendiri. Tetapi ketika sang suami mulai memikirkan suatu ide, walaupun mungkin isteri belum setuju (ada baiknya suami menjelaskan hal itu sedapatnya) maka isteri seharusnya tidak terus memaksakan idenya tetapi memiliki upaya serius untuk mau tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh suaminya
c. Seorang istri bukan berarti tunduk secara pasif (semua beban dilempar kepada suami) karena itu merupakan satu bentuk dari pemberontakan, tetapi tunduk aktif dengan memberikan ide dalam mencari pemikiran, yang dipikirkan dari sudut pemikiran suami. Ketika sang suami sedang memikirkan suatu gagasan/masalah, bagaimana sang istri memberikan input yang terbaik buat suaminya, sehingga suaminya dapat mengaktualisasikan apa yang ia gumulkan. Sehingga peran istri disini mengisi, khususnya bagian-bagian detail yang tidak terpikirkan oleh suami. Seorang pria cenderung untuk berpikir secara global, oleh sebab itu seorang istri harus mempunyai ketajaman analisa alternatif, kesulitan dan dampak yang lain yang akan dihasilkan dari pergumulan tersebut. Dan itu menjadikan seorang isteri support kepada apa yang suaminya inginkan secara positif. Memang kita akan melihat bahwa suami yang memutuskan tetapi dibelakangnya ada isteri yang memberikan pertimbangan terbaik bagi keputusan tersebut. Didalam otobiografi tokoh-tokoh penting di dunia akan kita dapati bahwa keputusan-keputusan tersebut terjadi karena mereka memiliki istri yang sangat mendukung, namun sebaliknya dibalik para penjahat yang hebat juga terdapat isteri yang sangat merusak. Sehingga kita sekarang mengetahui bagaimana posisi seorang isteri akan sangat berpengaruh bagi suaminya. Seperti Sarah yang selalu memberikan input, dan dukungan didalam Abraham menjalankan ide dan pelayanannya, dan ia tidak pernah menghalangi apa yang menjadi garis perjalanan dan tugas Abraham.
d. Di dalam menundukkan diri, seorang isteri harus memperlengkapi diri guna mengimbangi suaminya. Banyak orang yang berpendapat bahwa jikalau isteri akhirnya hanya harus tunduk kepada suami, maka ia tidak perlu capek-capek bersekolah atau memiliki suatu kemampuan. Hal seperti ini dapat muncul jikalau kita belum mengerti secara tepat akan ide submissiveness dan orang tersebut tidak mampu berpikir secara tajam. Ketika kita mengetahui bagaimana sang suami membuat suatu arah besar (global) maka disitu fungsi sang isteri untuk membangun dukungan-dukungan dengan mengisi pertimbangan-pertimbangan yang cermat dibelakangnya. Sehingga kita dapat membayangkan betapa pentingnya seorang isteri mempunyai ketajaman pemikiran, kemampuan menganalisa dan kemampuan ketrampilan yang memadai bagi perjalanan suaminya. Sehingga makin suami di dalam posisi tinggi maka isteri juga membutuhkan perimbangan yang cukup tinggi untuk menjalankan keseimbangan, menjadi penolong yang sepadan (Ams 31).
e. Ide penundukan diri bukan ide kemunafikan. Khususnya saat ini, sepertinya kita diajar untuk hidup secara multileveling sehingga akhirnya kepribadian kita menjadi pecah dan kita selalu harus memposisikan diri. Alkitab menekankan bahwa itu bukan sekedar penampilan diluar saja tetapi suatu penampilan atau tindakan yang secara alami muncul dari dalam diri kita. Jikalau itu hanya dibentuk dari aspek luar, itu akan menjadikan kita orang Kristen ahli taurat dan itu membuat kita akhirnya munafik. Ketaatan yang berpusat kepada Kristus itu adalah ketaatan yang keluar sebagai suatu kerelaan hati dan ketaatan yang sungguh, sehingga didalamnya tidak ada kemunafikan dan kepura-puraan sama sekali. Ketika Sara memanggil Abraham “tuan” maka itu menunjukkan bahwa tidak ada satu orangpun yang memaksanya untuk melakukannya dan kecenderungan hatinya untuk benar-benar mau mentuankan suaminya.
SIKAP SUAMI
Dalam ay. 25 dikatakan, “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya.”. Alkitab memang mengajarkan supaya wanita tunduk kepada suaminya namun itu bukan berarti bahwa suami boleh menindas isterinya, sebab ketika wanita tunduk kepada suaminya maka penundukan isteri kepada suami tersebut harus diresponi oleh sikap kedua yaitu bagaimana suami mencintai isterinya sebagaimana Kristus mengasihi jemaat. Dengan demikian di dalam bagian ini kita melihat bagaimana suami-isteri yang boleh berelasi dengan indah, ditata menurut satu konsep yang berbeda sama sekali dengan ide yang ada di tengah dunia. Seperti yang digambarkan di Efesus 5, seorang suami sejati ketika berelasi dengan isterinya harus kembali kepada esensi yang benar yaitu ke-kepala-an yang berpusat kepada Kristus. Sehingga bagaimana seorang suami berelasi dengan istrinya, itu harus menggambarkan relasi antara Kristus (sebagai kepala) dengan jemaat (sebagai tubuhnya), dan ia harus memperlakukan isterinya seperti memperlakukan tubuhnya sendiri. Penekanan ke-kepala-an seorang suami adalah adanya satu perawatan, perlindungan, pengarahan dan cinta kasih yang sesungguhnya. Jadi sebagai seorang kepala rumah tangga seorang suami mempunyai tanggung-jawab menjadi kepala atas seluruh tubuhnya.
Dunia selalu mencoba memikirkan bagaimanakah seorang pria sejati itu; bagaimana seorang pria itu seharusnya berlaku dan siapa yang berhak disebut sebagai pria sejati itu? Plato mengatakan bahwa manusia pria adalah orang yang harus mengerti dengan rasional, sangat berkemampuan dan mengambil keputusan secara rasional serta ukuran kesuksesannya ditentukan oleh rasionya. Hal seperti ini menjadi aneh karena secara dunia faktual, pria dikenal sebagai manusia yang memiliki rasio lebih, namun di dalam relasi suami-isteri aspek rasional tidak pernah ditonjolkan menjadi satu inti alami pria sejati. Seringkali rasio menjadi satu hal yang terlalu diagungkan dan seolah tidak ada tempat bagi perasaan dan emosi. Padahal Alkitab justru mengajarkan supaya kita mencintai dan mengasihi istri kita dan bukan secara rasional saja melainkan itu merupakan satu keutuhan mulai dari rasio, emosi, perasaan, kehendak hingga tindakannya.
Dalam dunia modern sekarang ini, Pria sejati modern sering digambarkan dengan indikasi beberapa hal :
- Menurut konsep Hollywood adalah pria yang “macho,” yang keren, merokok, badannya gagah dan kekar seperti yang banyak ditanamkan melalui film-film. Dan disini konsep pria menjadi sangat rendah karena hanya dilihat sebatas aspek tubuh (jasmaniah saja), sehingga tidak heran kalau banyak wanita yang tidak mencari pria sejati melainkan mencari tukang pukul. Dan Hollywood memberikan dua warna berbeda dalam dunia entertaiment, disatu format ditampilkan pria yang macho, namun karena efek feminisme juga masuk dalam dunia entertaiment maka tipe pria menjadi feminim, berambut panjang, baby face dan kalau perlu memakai anting-anting.
- Konsep pria sejati yang paling umum adalah mampu menyediakan uang yang banyak. Dunia kita berupaya untuk menanamkan konsep yang merusak kodrat kita dan akhirnya para pria menjadi gila dan berjuang keras memenuhi apa yang diidekan oleh dunia dan tidak kembali kepada kodratnya yang sejati.
Selanjutnya kita akan mencoba melihat beberapa hal yang menjadi esensi pria sejati dalam firman Tuhan:
- Pria yang takut akan Tuhan dan menjadi kepala yang berpusatkan kepada Kristus.
Ketika seorang pria tidak mempunyai takut akan Tuhan, itu memberi segala peluang bagi dosa dan itu berarti ia sudah masuk ke dalam esensi dosa yang sesungguhnya. Pria sejati adalah pria yang tahu siapa dirinya di hadapan Tuhan, Allahnya dan bagaimana dia merepresentasikan Kristus di tengah masyarakat. Ke-kepala-an sejati adalah yang berpusat kepada Kristus dan sebuah keluarga yang sejati adalah keluarga yang dibangun oleh seorang kepala rumah tangga yang takut akan Kristus. Dalam Korintus dikatakan, kepala dari wanita adalah pria/suaminya, kepala dari pria adalah Kristus, dan kepala dari Kristus adalah Allah. Jadi ketika seorang pria ingin menjadi suami/kepala yang baik, ia harus tahu bahwa diatasnya masih ada kepala yang sejati yaitu Kristus. Itu alasan ketika seorang suami tidak takut kepada Allah dan hanya takut kepada manusia maka yang paling kasihan adalah isterinya. Alkitab memandang pernikahan bukan sekedar antara suami-isteri melainkan pernikahan tersebut harus merepresentasikan hubungan Kristus dengan jemaat.
- Pria yang sungguh-sungguh mencintai isterinya. Alkitab mengatakan bagaimana seorang suami mengasihi isteri seperti Kristus mengasihi jemaat. Kata “mengasihi” disini tidak menggunakan “eros” (sekalipun suami-isteri) tetapi dalam aspek ini menggunakan bentuk “agape” yaitu satu kasih yang unconditional. Ketika seorang suami mencintai isterinya, maka ia mencintai dengan sesungguhnya, dengan satu sikap gentleman dan satu hati yang benar-benar mau memikirkan yang terbaik bagi isterinya. Berarti seorang suami yang sejati ketika isterinya tunduk maka itu bukan kesempatan baginya untuk menindasnya melainkan bagaimana ia memikirkan yang terbaik yang bisa diberikan bagi isterinya. Bahkan seperti Kristus hingga rela menyerahkan nyawaNya menjadi tebusan bagi jemaat. Suami bukan menunjukkan kekuatannya hanya untuk menyelamatkan diri tetapi untuk membela isteri dan anak-anaknya karena ia bertanggungjawab untuk melakukan yang terbaik bagi isteri dan anak-anaknya. Dan itulah yang menjadikan keluarga itu akan indah sekali karena seorang isteri yang tunduk mutlak kepada suaminya tidak akan merasa bahwa penundukan dirinya dimanipulasi melainkan ia akan merasa puas untuk tunduk kepada suaminya. Itu sebab lebih baik kita mencari orang yang mencintai kita daripada yang kita cintai, karena itu akan membuat kita belajar bagaimana mengerti seluruh relasi ini dengan baik.
- Pria itu menguduskan dan menyucikan isterinya sehingga ia nantinya dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang wanita sejati. Ef 5:26 mengatakan, “Untuk mengguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman.” Pria yang sejati ketika ia benar-benar menjalankan dengan takut dan berpusat kepada Kristus, benar-benar mencintai isterinya, maka ada efek ketiga yang menjadi esensi paling besar yaitu ia akan mengguduskannya, menyucikannya (memurnikan/membersihkan), dan memandikannya dengan air dan firman. Beberapa penafsir mengkaitkan ini dengan budaya Yahudi/Yunani/ bahkan di pulau Jawa, bagaimana seorang isteri yang ketika akan menikah dimandikan dahulu. Itu menggambarkan satu kemurniannya yang akan menjadi bagian bersatu di dalam relasi eksklusif dengan suaminya. Dan ketika dikuduskan seperti itu, pengudusan tersebut bukan dikerjakan oleh si isteri melainkan isteri telah memasukkan diri dan pemisahan tersebut dikerjakan oleh suaminya. Dengan demikian, jikalau terjadi problem terhadap isterinya maka suami tetap memiliki andil didalamnya. Ketika isteri sudah menundukkan diri dan memasukkan diri kepada suaminya, maka keberadaan isteri ini berada di dalam satu perlindungan, penyucian daripada suaminya. Ini menjadi panggilan yang luar biasa rumit di dalam kita mengerti tentang pria sejati. Peranan suami di dalam mengasihi isteri menjadi bagian yang terbesar supaya si isteri tidak merasa perlu untuk mencari sesuatu diluar lagi. Isteri yang benar-benar terpisahkan di dalam relasi dengan suaminya, maka disitu ia merasa dipuaskan di dalam seluruh ketotalitasan hidupnya. Isteri tidak akan pernah puas/betah dirumah sekalipun dilimpahi oleh banyak material, dipuaskan secara seksualitas, ataupun hal-hal lain. Seorang isteri yang baik, bahkan siapapun dia sekalipun sangat materialistik, di dalam hati nuraninya tidak akan mengingkari bahwa ia akan menikmati kepuasan tertinggi ketika suaminya mencintainya dengan sungguh-sungguh. Oleh sebab itu pria yang sejati bukanlah pria yang tidak mempunyai perasaan dan tidak mampu tersenyum melainkan seorang pria yang mampu mengasihi istrinya. Dan kriteria dasar seorang pria yang sukses adalah pria yang dapat menjadikan isterinya seorang wanita sejati dengan takut akan Tuhan.
KESIMPULAN
- Tunduk bukan berarti mengikuti total seluruh keinginan suami, tetapi taat dalam konsep kebenaran
- Sebagai "Kepala" suami wajib mengasihi istri, berarti membawa istri kedalam kasih Tuhan
- Ide Kesetaraan gender tidak boleh melupakan konsep kristen terhadap pernikahan
*Bahan diambil dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
HTML