DR. RUSTAM EFENDY NAINGGOLAN, MM UNTUK SUMUT
SUMUT
Pada jaman pemerintahan
Belanda, Sumatera Utara merupakan suatu pemerintahan yang bernama Gouvernement
Van Sumatera yang meliputi seluruh Sumatera yang di kepalai oleh seorang
Gubernur berkedudukan di Medan.
Sumatera Utara terdiri dari
daerah-daerah administratif yang dinamakan keresidenan. Pada Sidang I Komite
Nasional Daerah (KND) Provinsi Sumatera diputuskan untuk dibagi menjadi 3 sub
Provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara (yang terdiri dari Keresidenan Aceh,
Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera
Tengah dan sub Provinsi Sumatera Selatan.
Melalui Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1948 tanggal 15 April 1948 pemerintah menetapkan Sumatera menjadi 3
Provinsi yang masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan dan
pada tanggal 15 selanjutnya ditetapkan menjadi hari jadi Provinsi Sumatera
Utara.
Awal tahun 1949 diadakan
reorganisasi pemerintahan di Sumatera. Dengan keputusan Pemerintah Darurat RI
tanggal 17 Mei 1949 Nomor 22/Pem/PDRI jabatan Gubernur Sumatera Utara
ditiadakan, selanjutnya dengan ketetapan Pemerintah Darurat RI tanggal 17
Desember 1949 dibentuk Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur yang
kemudian dengan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950
tanggal 14 Agustus 1950, ketetapan ini dicabut dan kembali dibentuk Provinsi
Sumatera Utara.
Tanggal 7 Desember 1956
diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Provinsi Aceh dan perubahan peraturan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang
intinya Provinsi Sumatera Utara wilayahnya dikurangi dengan bagian-bagian yang
terbentuk sebagai Daerah Otonomi Provinsi Aceh.[1]
PILKADA SUMUT
Sesuai dengan Tahapan Pilkada yang ditetapkan oleh KPU
Provinsi Sumatera Utara (Sumut), maka pada tanggal 7 Maret 2013, akan
dilaksanakan Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Periode 2013-2018. Pelaksana
tetap Gubernur Sumatera Utara (Plt. Gubsu) saat ini Ir. Gatot Pujo Nugroho yang
menjadi Plt. Gubsu karena Gubernur terpilih periode 2008-2013 Syamsul Arifin
terjerat kasus pidana korupsi. akan berakhir masa jabatannya pada bulan Mei
2013 mendatang.
Berbagai bakal calon Gubsu susah mulai bermunculan,
diantaranya yang paling banyak disebut
adalah DR. Rustam Efendy Nainggolan, MM atau yang lebih dikenal dengan Pak RE.
Sosok RE Nainggolan sudah sangat dikenal di wilayah Provinsi Sumatera Utara,
karena beliau merupakan pejabat karir PNS Sumut mulai dari staf Kecamatan
sampai menjadi Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Untuk lebih mengenal sosok RE Nainggolan, saya mencoba
menghimpun berbagai data tentang sepak terjang beliau dalam pengabdiannya
kepada Negara, masyarakat dan gereja.
SOSOK DR. RE NAINGGOLAN, MM
Awal Desember 2010 lalu, Pemerintah Daerah Provinsi
Sumut mengalami krisis kepemimpinan yang cukup serius. Setelah Gubsu Syamsul
Arifin ditahan KPK karena terkait kasus korupsi
APBG Langkat, kursi
Sekretaris Daerah (Sekda), sebuah jabatan vital dalam birokrasi, juga harus
lowong karena Sekda Sumut saat itu DR. Rustam Efendy
Nainggolan, MM (Pak RE) harus
memasuki purnabakti.
Namun tulisan ini tidak ingin mengulas
tentang krisis kepemimpinan tersebut sebab tema itu sudah banyak dikupas.
Tulisan ini justru ingin mengulas episode purnabakti Pak R.E. yang begitu
dramatis dan fenomenal.
Tak banyak pejabat yang ketika
purnabakti, meninggalkan kesan, keharuan, dan rasa kehilangan mendalam bagi
khalayak ramai. Sedikit pejabat yang ketika menjelang purnabakti, justru banyak
kalangan dan masyarakat luas berat melepas, dan bahkan menginginkan
perpanjangan masa dinasnya. Di tengah kelangkaan pejabat dan pemimpin seperti
itu di republik ini, Pak R.E. layak berbahagia dan terhormat, karena beliau termasuk
salah satu diantaranya.
Tak heran purnabaktinya begitu
‘ditangisi’ banyak kalangan. Hal itu tergambar secara spontan pada apel
purnabakti beliau 1 Desember 2010 di kantor Gubsu. Sebagian besar peserta apel,
termasuk pegawai terendah, bahkan tak kuasa menahan tetes air mata sedih
sekaligus bahagia. Sedih karena harus ‘melepas’ Pak R.E., dan bahagia karena
pernah memiliki pejabat dan pemimpin seperti beliau. Rasa ‘kehilangan’ Pak R.E.
bukan hanya terjadi dalam apel purnabakti di kantor Gubsu. Sepanjang pemantauan
penulis di dunia maya, dan perjumpaan dengan masyarakat biasa, rasa
‘kehilangan’ juga dirasakan khalayak ramai di berbagai tempat.
Sebenarnya apa
yang istimewa dari sosok RE Nainggolan? Apa yang
membuat sebagian besar birokrat, politisi, dan khalayak begitu ‘berat’ melepas
purnabaktinya?
Sepintas, memang seolah tak ada yang
istimewa dari Pak R.E. Mereka yang memandang Pak R.E. hanya dari sisi kronologi
‘Apa (what)’ yang dilakukan sepanjang karir birokrasinya akan sulit menemukan
apa yang disebut Marc Gafni sebagai Soul Prints (jejak jiwa), yang menjadi
kekuatan dan faktor pembeda beliau dengan pejabat dan pemimpin lain. Secara
generik Pak R.E. memang terlihat sebagai pejabat dan pemimpin yang biasa saja,
tanpa prestasi atau gebrakan khusus yang fenomenal.
Namun bila dilacak pada ‘Bagaimana
(How)’ beliau menjalankan amanah jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya, mulai
sejak beliau meniti karir birokrat pertama kali sebagai Camat di Pahae,
Tapanuli Utara sampai dengan menjadi Sekda Pempropsu, keistimewaan atau Soul
Prints seorang Pak R.E. akan terlihat dan sulit untuk diingkari.
Rendah Hati, Santun dan Toleran
Pertama, beliau adalah sosok pejabat dan
pemimpin yang rendah hati, santun, dan toleran. Benget Silitonga, seorang Pegiat
Demokrasi dan HAM di Sumut, menyaksikan tahun 2007 dalam sebuah diskusi tentang
Proyeksi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sumut di kantor BAKUMSU. Ketika itu Pak RE hadir sebagai narasumber dan tanpa sungkan duduk di
atas tikar berdiskusi bersama. Hal tersebut
merupakan salah satu contoh bahwa pejabat yang satu ini memang berbeda dengan
pejabat kebanyakan. Pak R.E. adalah pribadi yang hangat, terbuka, dan spontan.
Setiap orang yang bertemu dengannya akan merasakan kehangatan jabat tangan dan
senyum persahabatan humanisnya. Hebatnya sikap dan pola relasi tersebut tulus,
tanpa pamrih, dan konsisten, tanpa memandang tempat, dan berlaku terhadap
siapapun. Itu artinya sikap dan pola relasi Pak R.E. tersebut bukanlah sesuatu
yang dibuat-buat. Bukan akseoris dan hiasan seremonial jabatan belaka. Namun
merupakan cerminan dan manifestasi dari pribadi yang rendah hati, santun, dan
toleran. Sebab bagaimanapun kehangatan dan nuansa humanis tidak akan mungkin
muncul dari pribadi yang sombong dan intoleran, sekalipun itu direkayasa!
Selain itu ada sejumlah
kesaksian tentang kerendahan hati, kesantunan serta toleransi Pak R.E. dalam
menjalankan tugasnya. Salah satunya adalah Pak Muhammad Hatta, Ketua MUI Medan, Setelah purnabakti Pak RE, dalam sebuah kesempatan
beliau berkata : “Saya
kehilangan seorang sahabat dan pejabat yang kesopanan dan kesantunannya sulit
kita temukan pada pejabat lain. Kesantunan Pak R.E. yang khas itu membuatnya
tampak seperti bukan orang Batak".
Kesantunan Pak R.E. memang seolah
membuat ke-Batak-annya, yang selama ini dikenal keras, meledak-ledak, dan
sporadis, tidak terlihat. Namun kalau dicermati lebih mendalam, sikap dan pola
relasi yang dilakonkan Pak R.E. sejatinya adalah manifestasi falsafah Batak
tulen yang belakangan sudah lama dilupakan masyarakat Batak sendiri yakni “pantun hangoluan
tois hamagoan”. Arti
harfiahnya kira-kira bermakna, santun itu kehidupan, sombong itu kehancuran.
Sepintas sikap dan pola relasi yang
rendah hati, sopan, dan toleran ini memang klise dan tak menarik. Namun justru
‘yang tak menarik’ itulah kekuatan Pak R.E. Sebab sebagai salah seorang pejabat
teras dan pimpinan tertinggi di Pempropsu, Pak R.E. sesungguhnya ‘wajar’ dan
bisa saja arogan, dan membuat jarak dengan siapapun. Beliau bisa saja membuat
aturan protokoler yang ketat agar sulit ditemui. Sebagai pejabat yang memegang
kuasa administratif Pempropsu, Pak R.E. sesungguhnya ‘sah-sah saja’ membangun
kartel dan kroni birokrasi untuk menopang kekuasaannya. Namun, secara sadar,
Pak R.E. menghindari semua ‘arogansi’ tersebut. Bukan hanya menghindari, beliau
bahkan berikhtiar menolaknya dengan menjadi pejabat melayani. Sebuah ikhtiar
yang langka kita temukan pada alam pikir dan perilaku pejabat mainstream kita.
Pemimpin Model Teko
Soul Prints kedua Pak R.E. adalah
filosofi kepemimpinan ‘teko’ yang dianutnya. Persis seperti teko, karakter Pak
R.E. yang khas terletak pada kemampuan dan kompetensinya menjadi wahana
menghimpun, menampung, dan menyimpan ‘air’ (baca; kekuasaan) dan kemudian
mengalirkan dan membaginya ke banyak orang. Hebatnya teko Pak R.E. bukan teko
biasa. Teko Pak R.E. adalah teko yang memiliki filter bagus. Teko yang
terpercaya sehingga bisa memilah ‘air’ bersih dan ‘air’ comberan. Kekuatan filosofi teko ini membuatnya bisa bertahan
dalam turbulensi politik Sumut yang begitu tinggi dan panas. Kekuatan ‘teko’
Pak R.E. membuatnya dibutuhkan, dipakai, dihormati, dan disegani oleh tiga periode Gubernur Sumut, mulai dari almarhum
Rizal Nurdin, Rudolf Pardede, sampai dengan Syamsul Arifin. Kekuatan filosofi
teko membuatnya menjadi pejabat dan pemimpin yang memiliki dua kemampuan
mumpuni seorang chief of executive (CEO) modern sekaligus. Pertama, kemampuan
intensif (mengelola dan mengendalikan birokrasi) dan kemampuan ekstensif
(merespon dan mengartikulasi kepentingan masyarakat). Filosofi kepemimpinan
‘teko’ membuatnya tak perlu ‘mengejar’ (air) jabatan dan kuasa, tapi sebaliknya
menjadikan (air) kuasa dan jabatan yang ‘mengejar’ beliau. Beliau bukan orang yang ingin menonjol, tetapi lebih
kepada “The Man Behind the Gun”.
Filosofi teko yang diterapkan beliau
kemungkinan besar merupakan kreasi dan varian kontemporer dari filosofi
kepemimpinan Batak yaitu, parbahul-bahu
na bolon, partataring na so ra mintop, parsangkalan na so mahiang
(pengayom, tidak cengeng, rendah hati, bijak, dan murah hati).
Growing Leaders
Soul Prints ketiga Pak R.E. adalah
kwalitas kepemimpinan dan pelayanannya yang senantiasa bertumbuh. Dalam bahasa
modern Pak R.E. adalah seorang growing leaders. Pemimpin dan pejabat yang
bertumbuh. Growing leaders tentu bukanlah sosok yang begitu saja jatuh dari
langit. Growing leaders lahir dari kemampuan memaknai sejarah. Dan Pak R.E.
memiliki itu. Bukan hanya menghargai, ia juga senantiasa merefleksikan dan
mentransformasi sejarah yang dijalaninya. Sejarah (kehidupan keluarga yang
getir, kronik kehidupan, dan tour of duty yang dijalaninya), beliau jadikan
sebagai ‘sekolah’ dan sekaligus ‘laboratorium’ untuk melatih kematangan
kepemimpinannya. Itu terbukti pada transformasi sosok Pak R.E. dalam berbagai
jabatan penting yang dijalaninya. Kariernya di pemerintahan dimulai dari Staff Kantor
Camat Pahae Jae, Kantor Camat Siborong-borong, Kabid Sosial Budaya Taput, Kadis
Pendapatan Taput, Asisten Bidang Ekbang Taput dan Ketua Bappeda Tk II Taput, Sekwilda Dairi, Bupati Taput, Kepala Badan
Informasi dan Komunikasi Provsu, Kepala Bappeda SUmut dan terakhir menjadi Sekda Provinsi Sumut.
Tanpa pertumbuhan dan transformasi
kepemimpinan semua jabatan itu tentu saja tidak akan mulus dan amanah dijalani.
Dengan tiga Soul Prints di atas, Pak
R.E. bisa disebut sebagai anti tesa pejabat mainstream. Ia menjadi salah satu
simbol pembuktian bahwa pejabat dan pemimpin yang melayani, rendah hati, sopan,
dan toleran bukan hanya ilusi dan isapan jempol belaka. Sampai akhir karir
birokrasinya Pak R.E. teguh pada kekuatan yang dimilikinya, termasuk pada saat
terakhir, tanpa diketahui banyak orang, menolak perpanjangan dinas yang
ditawarkan kepadanya.
Lalu dimana kelemahan beliau? Sebagai
manusia beliau pasti punya khilaf dan alpa. Namun, dengan soul prints yang
dimilikinya, sepertinya kelemahan beliau tidak begitu penting untuk dikupas.
Kekuatannya telah menutupi kelemahannya.
Ungkapan it’s not how
much you do, but how much justice, freedom, and love you put in the doing,.sepertinya cocok untuk menggambarkan sosok RE
Nainggolan.[2]
Pengabdian Pasca Purnabakti
Setelah purnabakti, RE Nainggolan tidak pernah berhenti untuk melayani masyarakat,
baik dibidang social kemasyarakatan, pendidikan dan keagamaan. Beliau tecatat
sebagai Direktur Pusat Studi Ekonomi Rakyat (PUSERA), Dosen Pasca Sarjana Univ
HKBP Nomensen, Pembina
Yayasan Suara Kebenaran Internasional dan
dipercayakan menjadi Ketua Panitia Jubileum 150 tahun HKBP wilayah II yang
berlangsung dengan sukses pada bulan Oktober 2012. Selain itu, beliau juga sering diundang menjadi narasumber dalam
berbagai seminar. Dalam bidang budaya, Pusat Latihan Opera Batak atau PLOt menganugerahi
mantan Sekretaris Daerah Sumatera Utara itu gelar
sebagai Ompu Pande Panggomgomi Tuan Paniroi Namangunghal Opera Batak. RE
Nainggolan dinilai berperan dalam upaya revitalisasi Opera Batak.
Berbagai komentar tentang sosok RE Nainggolan :
- Letjen (Purn) Dr TB Silalahi SH menyebutkan Dr RE Nainggolan MM merupakan tokoh terbaik masyarakat Batak sekarang ini. Pernyataan itu disampaikan oleh Letjen (Purn) Dr TB Silalahi SH saat mengawali sambutannya pada acara pelepasan kelas III SMAN 2 Soposurung, Balige, Sabtu (14/2) : “Dr RE Nainggolan MM ini adalah tokoh terbaik masyarakat Batak saat ini, dan ucapan saya ini tidak ada unsur politik, dan saya tidak mengerti politik,” kata TB Silalahi
- Ketua PC Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) Simalungun, Dedi Hermasyah menyebutkan Sumatera Utara membutuhkan sosok seperti RE Nainggolan untuk membenahi tata pemerintahan yang semraut. (TRIBUN-MEDAN.com).
Profil & Data Diri
Nama : DR.DRS.
RUSTAM EFFENDY NAINGGOLAN, MM
Lahir : Pematang Siantar, 21-11-1950
Jabatan :
-
Pensiunan
PNS (Jabatan Terakhir SEKDA PROVSU)
-
Direktur
Pusat Studi Ekonomi Rakyat (PUSERA) Sumut
-
Pembina YSKI
Sumatera Utara
-
Dosen Pasca Sarjana Univ. HKBP
Nomensen
Isteri : Linda Mariany Br. Sihombing
Anak : Septa
Glory, Gabriel Renjana, Vera Reni, dan Gaza Renato
Riwayat Pendidikan :
2008 :
Menyelesaikan Program Doktor Perencanaan Wilayah USU Medan
1999 :
Menyelesaikan Program Pasca Sarjana Manajemen USU Medan
1981 :
Menyelesaikan S-1 Ilmu Pemerintahan IIP Jakarta
1975 :
Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Medan
Riwayat Jabatan :
20-6-2008 sampai pensiun : Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara
05-12-2005 sampai 2008 : Kepala BAPPEDA Provsu
19-08-2004 sampai 2005 : Kepala Badan Informasi dan Komunikasi
Provsu
08-04-1999 sampai 2004 : Bupati KDH Tk.II Tapanuli Utara
23-04-1996 sampai 1999 : Sekretaris Wilayah Daerah Dairi
Kariernya di pemerintahan dimulai dari Staff Kantor
Camat Pahae Jae, Kantor Camat Siborong-borong, Kabid Sosial Budaya Taput, Kadis
Pendapatan Taput, Asisten Bidang Ekbang Taput dan Ketua Bappeda Tk II Taput.
Tanda Jasa/Kehormatan/Penghargaan :
Tahun 2011 : menerima penghargaan sebagai Tokoh Keberagaman
Sumatera Utara dari Forum Komunikasi Umat Beragama.
Tahun 2007 : menerima Lencana Mas dari PGI Sumut,
Tahun 2006 : Piagam penghargaan sebagai teman pers dari SPS Sumut
(2006 dan 2007),
Tahun 2006 : Satya Lencana Karya Satya XXX Tahun dari Presiden RI,
Satya Lencana Kebaktian Sosial dari Presiden RI serta puluhan piagam dan
penghargaan lainnya.
Penugasan dan Lokakarya :
- Mengikuti seminar di Jepang (1995)
- Studi Banding ke Jerman (2000)
- Study Strategis Lemhanas ke Prancis (2001)
- Seminar Royal Agriculture di Inggris (2002)
- Mengikuti training ke Jepang (2003) dan mengikuti Rostock ke Jerman (2003).
- Mengikuti berbagai seminar dan lokakarya di Medan dan Jakarta.
- Saat ini sering diundang sebagai pembicara dalam berbagai seminar di Medan, Sumatera Utara.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
HTML