Selamat datang di blog sederhana ini, kiranya menjadi berkat bagi kita semua

Kamis, 07 Juni 2012

TOKOH


DR. RUSTAM EFENDY NAINGGOLAN, MM UNTUK SUMUT

SUMUT
Pada jaman pemerintahan Belanda, Sumatera Utara merupakan suatu pemerintahan yang bernama Gouvernement Van Sumatera yang meliputi seluruh Sumatera yang di kepalai oleh seorang Gubernur berkedudukan di Medan.
Sumatera Utara terdiri dari daerah-daerah administratif yang dinamakan keresidenan. Pada Sidang I Komite Nasional Daerah (KND) Provinsi Sumatera diputuskan untuk dibagi menjadi 3 sub Provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara (yang terdiri dari Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli), sub Provinsi Sumatera Tengah dan sub Provinsi Sumatera Selatan.
Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tanggal 15 April 1948 pemerintah menetapkan Sumatera menjadi 3 Provinsi yang masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan dan pada tanggal 15 selanjutnya ditetapkan menjadi hari jadi Provinsi Sumatera Utara.
Awal tahun 1949 diadakan reorganisasi pemerintahan di Sumatera. Dengan keputusan Pemerintah Darurat RI tanggal 17 Mei 1949 Nomor 22/Pem/PDRI jabatan Gubernur Sumatera Utara ditiadakan, selanjutnya dengan ketetapan Pemerintah Darurat RI tanggal 17 Desember 1949 dibentuk Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli/Sumatera Timur yang kemudian dengan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950, ketetapan ini dicabut dan kembali dibentuk Provinsi Sumatera Utara.
Tanggal 7 Desember 1956 diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan perubahan peraturan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang intinya Provinsi Sumatera Utara wilayahnya dikurangi dengan bagian-bagian yang terbentuk sebagai Daerah Otonomi Provinsi Aceh.[1]

PILKADA SUMUT
Sesuai dengan Tahapan Pilkada yang ditetapkan oleh KPU Provinsi Sumatera Utara (Sumut), maka pada tanggal 7 Maret 2013, akan dilaksanakan Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Periode 2013-2018. Pelaksana tetap Gubernur Sumatera Utara (Plt. Gubsu) saat ini Ir. Gatot Pujo Nugroho yang menjadi Plt. Gubsu karena Gubernur terpilih periode 2008-2013 Syamsul Arifin terjerat kasus pidana korupsi. akan berakhir masa jabatannya pada bulan Mei 2013 mendatang.
Berbagai bakal calon Gubsu susah mulai bermunculan, diantaranya  yang paling banyak disebut adalah DR. Rustam Efendy Nainggolan, MM atau yang lebih dikenal dengan Pak RE. Sosok RE Nainggolan sudah sangat dikenal di wilayah Provinsi Sumatera Utara, karena beliau merupakan pejabat karir PNS Sumut mulai dari staf Kecamatan sampai menjadi Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara.
Untuk lebih mengenal sosok RE Nainggolan, saya mencoba menghimpun berbagai data tentang sepak terjang beliau dalam pengabdiannya kepada Negara, masyarakat dan gereja.

SOSOK DR. RE NAINGGOLAN, MM
Awal Desember 2010 lalu, Pemerintah Daerah Provinsi Sumut mengalami krisis kepemimpinan yang cukup serius. Setelah Gubsu Syamsul Arifin ditahan KPK karena terkait kasus korupsi APBG Langkat, kursi Sekretaris Daerah (Sekda), sebuah jabatan vital dalam birokrasi, juga harus lowong karena Sekda Sumut saat itu DR. Rustam Efendy Nainggolan, MM (Pak RE) harus memasuki purnabakti.
Namun tulisan ini tidak ingin mengulas tentang krisis kepemimpinan tersebut sebab tema itu sudah banyak dikupas. Tulisan ini justru ingin mengulas episode purnabakti Pak R.E. yang begitu dramatis dan fenomenal.
Tak banyak pejabat yang ketika purnabakti, meninggalkan kesan, keharuan, dan rasa kehilangan mendalam bagi khalayak ramai. Sedikit pejabat yang ketika menjelang purnabakti, justru banyak kalangan dan masyarakat luas berat melepas, dan bahkan menginginkan perpanjangan masa dinasnya. Di tengah kelangkaan pejabat dan pemimpin seperti itu di republik ini, Pak R.E. layak berbahagia dan terhormat, karena beliau termasuk salah satu diantaranya.
Tak heran purnabaktinya begitu ‘ditangisi’ banyak kalangan. Hal itu tergambar secara spontan pada apel purnabakti beliau 1 Desember 2010 di kantor Gubsu. Sebagian besar peserta apel, termasuk pegawai terendah, bahkan tak kuasa menahan tetes air mata sedih sekaligus bahagia. Sedih karena harus ‘melepas’ Pak R.E., dan bahagia karena pernah memiliki pejabat dan pemimpin seperti beliau. Rasa ‘kehilangan’ Pak R.E. bukan hanya terjadi dalam apel purnabakti di kantor Gubsu. Sepanjang pemantauan penulis di dunia maya, dan perjumpaan dengan masyarakat biasa, rasa ‘kehilangan’ juga dirasakan khalayak ramai di berbagai tempat.
Sebenarnya apa yang istimewa dari sosok RE Nainggolan? Apa yang membuat sebagian besar birokrat, politisi, dan khalayak begitu ‘berat’ melepas purnabaktinya?
Sepintas, memang seolah tak ada yang istimewa dari Pak R.E. Mereka yang memandang Pak R.E. hanya dari sisi kronologi ‘Apa (what)’ yang dilakukan sepanjang karir birokrasinya akan sulit menemukan apa yang disebut Marc Gafni sebagai Soul Prints (jejak jiwa), yang menjadi kekuatan dan faktor pembeda beliau dengan pejabat dan pemimpin lain. Secara generik Pak R.E. memang terlihat sebagai pejabat dan pemimpin yang biasa saja, tanpa prestasi atau gebrakan khusus yang fenomenal.
Namun bila dilacak pada ‘Bagaimana (How)’ beliau menjalankan amanah jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya, mulai sejak beliau meniti karir birokrat pertama kali sebagai Camat di Pahae, Tapanuli Utara sampai dengan menjadi Sekda Pempropsu, keistimewaan atau Soul Prints seorang Pak R.E. akan terlihat dan sulit untuk diingkari.

Rendah Hati, Santun dan Toleran
Pertama, beliau adalah sosok pejabat dan pemimpin yang rendah hati, santun, dan toleran. Benget Silitonga, seorang Pegiat Demokrasi dan HAM di Sumut, menyaksikan  tahun 2007 dalam sebuah diskusi tentang Proyeksi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sumut di kantor BAKUMSU. Ketika itu Pak RE hadir sebagai narasumber dan tanpa sungkan duduk di atas tikar berdiskusi bersama. Hal tersebut merupakan salah satu contoh bahwa pejabat yang satu ini memang berbeda dengan pejabat kebanyakan. Pak R.E. adalah pribadi yang hangat, terbuka, dan spontan. Setiap orang yang bertemu dengannya akan merasakan kehangatan jabat tangan dan senyum persahabatan humanisnya. Hebatnya sikap dan pola relasi tersebut tulus, tanpa pamrih, dan konsisten, tanpa memandang tempat, dan berlaku terhadap siapapun. Itu artinya sikap dan pola relasi Pak R.E. tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Bukan akseoris dan hiasan seremonial jabatan belaka. Namun merupakan cerminan dan manifestasi dari pribadi yang rendah hati, santun, dan toleran. Sebab bagaimanapun kehangatan dan nuansa humanis tidak akan mungkin muncul dari pribadi yang sombong dan intoleran, sekalipun itu direkayasa!
Selain itu ada sejumlah kesaksian tentang kerendahan hati, kesantunan serta toleransi Pak R.E. dalam menjalankan tugasnya. Salah satunya adalah Pak Muhammad Hatta, Ketua MUI Medan, Setelah purnabakti Pak RE, dalam sebuah kesempatan beliau berkata : “Saya kehilangan seorang sahabat dan pejabat yang kesopanan dan kesantunannya sulit kita temukan pada pejabat lain. Kesantunan Pak R.E. yang khas itu membuatnya tampak seperti bukan orang Batak".
Kesantunan Pak R.E. memang seolah membuat ke-Batak-annya, yang selama ini dikenal keras, meledak-ledak, dan sporadis, tidak terlihat. Namun kalau dicermati lebih mendalam, sikap dan pola relasi yang dilakonkan Pak R.E. sejatinya adalah manifestasi falsafah Batak tulen yang belakangan sudah lama dilupakan masyarakat Batak sendiri yaknipantun hangoluan tois hamagoan. Arti harfiahnya kira-kira bermakna, santun itu kehidupan, sombong itu kehancuran.
Sepintas sikap dan pola relasi yang rendah hati, sopan, dan toleran ini memang klise dan tak menarik. Namun justru ‘yang tak menarik’ itulah kekuatan Pak R.E. Sebab sebagai salah seorang pejabat teras dan pimpinan tertinggi di Pempropsu, Pak R.E. sesungguhnya ‘wajar’ dan bisa saja arogan, dan membuat jarak dengan siapapun. Beliau bisa saja membuat aturan protokoler yang ketat agar sulit ditemui. Sebagai pejabat yang memegang kuasa administratif Pempropsu, Pak R.E. sesungguhnya ‘sah-sah saja’ membangun kartel dan kroni birokrasi untuk menopang kekuasaannya. Namun, secara sadar, Pak R.E. menghindari semua ‘arogansi’ tersebut. Bukan hanya menghindari, beliau bahkan berikhtiar menolaknya dengan menjadi pejabat melayani. Sebuah ikhtiar yang langka kita temukan pada alam pikir dan perilaku pejabat mainstream kita.

Pemimpin Model Teko
Soul Prints kedua Pak R.E. adalah filosofi kepemimpinan ‘teko’ yang dianutnya. Persis seperti teko, karakter Pak R.E. yang khas terletak pada kemampuan dan kompetensinya menjadi wahana menghimpun, menampung, dan menyimpan ‘air’ (baca; kekuasaan) dan kemudian mengalirkan dan membaginya ke banyak orang. Hebatnya teko Pak R.E. bukan teko biasa. Teko Pak R.E. adalah teko yang memiliki filter bagus. Teko yang terpercaya sehingga bisa memilah ‘air’ bersih dan ‘air’ comberan. Kekuatan filosofi teko ini membuatnya bisa bertahan dalam turbulensi politik Sumut yang begitu tinggi dan panas. Kekuatan ‘teko’ Pak R.E. membuatnya dibutuhkan, dipakai, dihormati, dan disegani oleh tiga periode Gubernur Sumut, mulai dari almarhum Rizal Nurdin, Rudolf Pardede, sampai dengan Syamsul Arifin. Kekuatan filosofi teko membuatnya menjadi pejabat dan pemimpin yang memiliki dua kemampuan mumpuni seorang chief of executive (CEO) modern sekaligus. Pertama, kemampuan intensif (mengelola dan mengendalikan birokrasi) dan kemampuan ekstensif (merespon dan mengartikulasi kepentingan masyarakat). Filosofi kepemimpinan ‘teko’ membuatnya tak perlu ‘mengejar’ (air) jabatan dan kuasa, tapi sebaliknya menjadikan (air) kuasa dan jabatan yang ‘mengejar’ beliau. Beliau bukan orang yang ingin menonjol, tetapi lebih kepada “The Man Behind the Gun”.
Filosofi teko yang diterapkan beliau kemungkinan besar merupakan kreasi dan varian kontemporer dari filosofi kepemimpinan Batak yaitu, parbahul-bahu na bolon, partataring na so ra mintop, parsangkalan na so mahiang (pengayom, tidak cengeng, rendah hati, bijak, dan murah hati).

Growing Leaders
Soul Prints ketiga Pak R.E. adalah kwalitas kepemimpinan dan pelayanannya yang senantiasa bertumbuh. Dalam bahasa modern Pak R.E. adalah seorang growing leaders. Pemimpin dan pejabat yang bertumbuh. Growing leaders tentu bukanlah sosok yang begitu saja jatuh dari langit. Growing leaders lahir dari kemampuan memaknai sejarah. Dan Pak R.E. memiliki itu. Bukan hanya menghargai, ia juga senantiasa merefleksikan dan mentransformasi sejarah yang dijalaninya. Sejarah (kehidupan keluarga yang getir, kronik kehidupan, dan tour of duty yang dijalaninya), beliau jadikan sebagai ‘sekolah’ dan sekaligus ‘laboratorium’ untuk melatih kematangan kepemimpinannya. Itu terbukti pada transformasi sosok Pak R.E. dalam berbagai jabatan penting yang dijalaninya. Kariernya di pemerintahan dimulai dari Staff Kantor Camat Pahae Jae, Kantor Camat Siborong-borong, Kabid Sosial Budaya Taput, Kadis Pendapatan Taput, Asisten Bidang Ekbang Taput dan Ketua Bappeda Tk II Taput, Sekwilda Dairi, Bupati Taput, Kepala Badan Informasi dan Komunikasi Provsu, Kepala Bappeda SUmut dan terakhir menjadi Sekda Provinsi Sumut.
Tanpa pertumbuhan dan transformasi kepemimpinan semua jabatan itu tentu saja tidak akan mulus dan amanah dijalani.
Dengan tiga Soul Prints di atas, Pak R.E. bisa disebut sebagai anti tesa pejabat mainstream. Ia menjadi salah satu simbol pembuktian bahwa pejabat dan pemimpin yang melayani, rendah hati, sopan, dan toleran bukan hanya ilusi dan isapan jempol belaka. Sampai akhir karir birokrasinya Pak R.E. teguh pada kekuatan yang dimilikinya, termasuk pada saat terakhir, tanpa diketahui banyak orang, menolak perpanjangan dinas yang ditawarkan kepadanya.
Lalu dimana kelemahan beliau? Sebagai manusia beliau pasti punya khilaf dan alpa. Namun, dengan soul prints yang dimilikinya, sepertinya kelemahan beliau tidak begitu penting untuk dikupas. Kekuatannya telah menutupi kelemahannya.
Ungkapan it’s not how much you do, but how much justice, freedom, and love you put in the doing,.sepertinya cocok untuk menggambarkan sosok RE Nainggolan.[2]

Pengabdian Pasca Purnabakti
Setelah purnabakti, RE Nainggolan tidak pernah berhenti untuk melayani masyarakat, baik dibidang social kemasyarakatan, pendidikan dan keagamaan. Beliau tecatat sebagai Direktur Pusat Studi Ekonomi Rakyat (PUSERA), Dosen Pasca Sarjana Univ HKBP Nomensen, Pembina Yayasan Suara Kebenaran Internasional dan dipercayakan menjadi Ketua Panitia Jubileum 150 tahun HKBP wilayah II yang berlangsung dengan sukses pada bulan Oktober 2012. Selain itu, beliau  juga sering diundang menjadi narasumber dalam berbagai seminar. Dalam bidang budaya, Pusat Latihan Opera Batak atau PLOt menganugerahi mantan Sekretaris Daerah Sumatera Utara itu gelar sebagai Ompu Pande Panggomgomi Tuan Paniroi Namangunghal Opera Batak. RE Nainggolan dinilai berperan dalam upaya revitalisasi Opera Batak.

Berbagai komentar tentang sosok RE Nainggolan :
  • Letjen (Purn) Dr TB Silalahi SH menyebutkan Dr RE Nainggolan MM merupakan tokoh terbaik masyarakat Batak sekarang ini. Pernyataan itu disampaikan oleh Letjen (Purn) Dr TB Silalahi SH saat mengawali sambutannya pada acara pelepasan kelas III SMAN 2 Soposurung, Balige, Sabtu (14/2) : “Dr RE Nainggolan MM ini adalah tokoh terbaik masyarakat Batak saat ini, dan ucapan saya ini tidak ada  unsur politik, dan saya tidak mengerti politik,” kata TB Silalahi
  • Ketua PC Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) Simalungun, Dedi Hermasyah menyebutkan Sumatera Utara membutuhkan sosok seperti RE Nainggolan untuk membenahi tata pemerintahan yang semraut. (TRIBUN-MEDAN.com).

Profil & Data Diri
Nama               : DR.DRS. RUSTAM EFFENDY NAINGGOLAN, MM
Lahir                : Pematang Siantar, 21-11-1950
Jabatan                       
-          Pensiunan PNS (Jabatan Terakhir SEKDA PROVSU)
-          Direktur Pusat Studi Ekonomi Rakyat (PUSERA) Sumut
-          Pembina YSKI Sumatera Utara
-          Dosen Pasca Sarjana Univ. HKBP Nomensen

Isteri               : Linda Mariany Br. Sihombing
Anak               : Septa Glory, Gabriel Renjana, Vera Reni, dan Gaza Renato

Riwayat Pendidikan :
2008    :  Menyelesaikan Program Doktor Perencanaan Wilayah USU Medan
1999    :  Menyelesaikan Program Pasca Sarjana Manajemen USU Medan
1981    :   Menyelesaikan S-1 Ilmu Pemerintahan IIP Jakarta
1975    :  Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Medan

Riwayat Jabatan :
20-6-2008   sampai pensiun     :   Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara
05-12-2005 sampai 2008         :    Kepala BAPPEDA Provsu
19-08-2004 sampai 2005         :    Kepala Badan Informasi dan Komunikasi Provsu
08-04-1999 sampai 2004         :    Bupati KDH Tk.II Tapanuli Utara
23-04-1996 sampai 1999         :    Sekretaris Wilayah Daerah Dairi
Kariernya di pemerintahan dimulai dari Staff Kantor Camat Pahae Jae, Kantor Camat Siborong-borong, Kabid Sosial Budaya Taput, Kadis Pendapatan Taput, Asisten Bidang Ekbang Taput dan Ketua Bappeda Tk II Taput.

Tanda Jasa/Kehormatan/Penghargaan :
Tahun 2011  : menerima penghargaan sebagai Tokoh Keberagaman Sumatera Utara dari Forum Komunikasi Umat Beragama.
Tahun 2007     : menerima Lencana Mas dari PGI Sumut,
Tahun 2006     :  Piagam penghargaan sebagai teman pers dari SPS Sumut (2006 dan 2007),
Tahun 2006    :  Satya Lencana Karya Satya XXX Tahun dari Presiden RI, Satya Lencana Kebaktian Sosial dari Presiden RI serta puluhan piagam dan penghargaan lainnya.

Penugasan dan Lokakarya :
  • Mengikuti seminar di Jepang (1995)
  • Studi Banding ke Jerman (2000)
  • Study Strategis Lemhanas ke Prancis (2001)
  • Seminar Royal Agriculture di Inggris (2002)
  • Mengikuti training ke Jepang (2003) dan mengikuti Rostock ke Jerman (2003).
  • Mengikuti berbagai seminar dan lokakarya di Medan dan Jakarta.
  • Saat ini sering diundang sebagai pembicara dalam berbagai seminar di Medan, Sumatera Utara.[3]


[1] http://www.sumutprov.go.id
[2] Benget Silitonga : Harian Analisa, Kamis, 20 Jan 2011
[3] http://renainggolan.com/profile/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HTML