Semenjak bergulirnya era reformasi di Indonesia, sangat sulit membedakan antara perjuangan demokrasi dan anarkisme. Euforia Reformasi telah membuat terjadinya ultra-kebebasan yang pada akhirnya keluar dari prinsip demokrasi yang sebenarnya. Demokarsi yang benar selalu tunduk kepada slogan “Dari Rakyat, Untuk Rakyat, dan Oleh Rakyat. Tetapi Aplikasi Demokrasi yang kita lihat di jaman reformasi ini adalah Demokrasi kebablasan, yang menepikan kesantunan dan cenderung Anarkis.
Kalau kita coba menilik apa itu “anarkisme”, Anarki (dari kata anarchy), artinya ialah suatu keadaan dimana tidak ada kontrol kekuasaan atau hukum atau ketiadaan pemerintah/penguasa., sedangkan kata anarkis bermakna orang (anarkis=kata benda/noun, jadi bukan kata sifat) sebagai terjemahan dari kata anarchist, yang artinya penganut faham anarkisme. Kemudian ada kata anarkik (dari kata anarchic) yang bermakna kurang lebih tindakan atau perilaku dari kaum anarkis.
Selanjutnya ada kata anarkisme (dari anarchism) yang bermakna faham atau ide atau ajaran tentang peniadaan/pembatalan kontrol kekuasaan pada masyarakat/negara, yang oleh kaum anarkis dicitakan untuk mengganti sistem ini dengan sustu sistem voluntir/kesukarelaan, atau faham akan sistem masyarakat berbasis kooperasi.
Sedangkan makna anarkistik, adalah sifat/kondisi atau situasi yang ingin diciptakan oleh faham anarkisme.
Ada satu kosa kata bahasa Melayu (baca: bahasa Indonesia) yang cukup terkenal di lingkup internasional, paling tidak lantaran kosa kata tersebut termaktub dalam beberapa ensiklopedi, di antaranya Encyclopaedia Americana. Kosa kata itu adalah: “Amuk” (orang Bule menulisnya: “Amok”). Sebuah kata yang menunjukkan betapa orang Indonesia itu, sejak dulu, gampang marah. Dan, kalau sudah marah, mereka akan mengamuk, menyerang dan membunuh siapa saja yang berada di dekatnya.
Amuk bisa dilakukan secara individual, bisa juga secara berkelompok alias main keroyokan alias tawuran (amuk massa). Orang-orang Portugis dan Belanda yang pernah menjajah negeri ini, sudah sangat sering dan bahkan sudah sangat terbiasa menyaksikan peristiwa Amuk yang dilakukan kaum pribumi. Mereka pun menceritakan tradisi Amuk ini secara turun-temurun, sebagai peringatan kepada anak-cucu mereka agar berhati-hati bila berkunjung ke Indonesia. Sebab salah langkah sedikit saja bisa menjadi sasaran Amuk.
Akhirnya, setiap kali mereka ingat Indonesia, mereka pun akan ingat kebiasaan kaum pribumi melakukan tindakan Amuk (mengamuk). Sehingga wajarlah bila kemudian kata Amuk pun masuk ke dalam ensiklopedi mereka. Dengan kata lain, tuan-tuan dan nyonya-nya dari negeri Barat, sejak zaman baheula sudah sangat mafhum bahwa orang Indonesia itu sangat akrab dengan anarkisme.
Amuk bisa dilakukan secara individual, bisa juga secara berkelompok alias main keroyokan alias tawuran (amuk massa). Orang-orang Portugis dan Belanda yang pernah menjajah negeri ini, sudah sangat sering dan bahkan sudah sangat terbiasa menyaksikan peristiwa Amuk yang dilakukan kaum pribumi. Mereka pun menceritakan tradisi Amuk ini secara turun-temurun, sebagai peringatan kepada anak-cucu mereka agar berhati-hati bila berkunjung ke Indonesia. Sebab salah langkah sedikit saja bisa menjadi sasaran Amuk.
Akhirnya, setiap kali mereka ingat Indonesia, mereka pun akan ingat kebiasaan kaum pribumi melakukan tindakan Amuk (mengamuk). Sehingga wajarlah bila kemudian kata Amuk pun masuk ke dalam ensiklopedi mereka. Dengan kata lain, tuan-tuan dan nyonya-nya dari negeri Barat, sejak zaman baheula sudah sangat mafhum bahwa orang Indonesia itu sangat akrab dengan anarkisme.
Tentunya tidak perlu malu bila kata Indonesia dianggap lebih asosiatif dengan kata Amuk, bukan kata Makmur, Sentosa, Indah atau Damai. Munculnya frasa “Indonesia yang Makmur, Sentosa, Damai dan Indah”, itu berkat upaya Para Bapak Bangsa yang ingin mengangkat citra Indonesia di mata dunia, agar Indonesia tidak hanya dikenal keburukannya. Tetapi Makmur, Damai dan Indah, adalah kata-kata yang lebih mengandung harapan, ketimbang kenyataan. Sedangkan Amuk, adalah kenyataan yang sering kita saksikan.
Beberaqpa bukti yang bisa kita lihada antara lain :
Beberaqpa bukti yang bisa kita lihada antara lain :
- Ketua DPRD Sumatera Utara H. Abdul Aziz Angkat, tewas dikeroyok massa yang menyerang, mengamuk di ruang sidang paripurna. Anarkisme ini terjadi lantaran keinginan para pengunjuk rasa yang mendukung pembentukan Provinsi Tapanuli, tidak ditanggapi oleh para anggota dewan.
- Kerusuhan berupa Demo Anarkis akibat Pilkada di beberapa daerah seperti Sibolga, Mojokerto dan lain-lain yang nyata-nyata memperlihatkan tindakan perusakan, pembakaran dan bahkan penganiayaan.
- Tiga orang sekeluarga yang dianiaya dan dibakar oleh massa akibat isu begu ganjang di Sitanggor Muara ( 15 Mei 2010 ), dan pembakaran plus panganiayan yang terjadi di Partangga Desa Hutauruk Sipoholon Tapanuli Utara ( 18 Mei 2010 ). Adalah juga termasuk bentuk-bentuk anarkisme yang ditunjukkan oleh warga seakan-akan hokum tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan.
- Dan banyak lagi contoh-contoh tindakan yang boleh kita sebut anarkisme.
Tindakan-tindakan seperti itu menjadi pembenaran terhadap makna anarkisme seperti yang disebut diatas yaitu bahwa anarkisme adalah faham atau ide atau ajaran tentang peniadaan/pembatalan kontrol kekuasaan pada masyarakat/negara, yang oleh kaum anarkis dicitakan untuk mengganti sistem ini dengan suatu sistem voluntir/kesukarelaan, atau faham akan sistem masyarakat berbasis kooperasi.
Kelemahan system dan aparat hokum, member celah untuk terjadinya anarkisme tersebut, masyarakat sepertinya mempunyai kekuatan untuk memindahkan kontrol kekuasaan dari Negara (hukum) menjadi kekuasaan atas dasar kebersamaan. Sehingga ada kesan apapun bisa dilakukan jika bersama-sama (berbasis massa), terlepas apakah tindakan itu melanggar hukum atau tidak.
Meninjau kasus Penganiayaan dan percobaan pembakaran di Partangga – Hutauruk Sipoholon, saya mendapat informasi bahwa kejadian tersebut terjadi di hadapan Aparat dan Muspida setempat. Kejadian bermula dari pertemuan warga dan Muspida serta pihak kepolisian untuk membicarakan isu begu ganjang yang santer di wilayah tersebut. Di satu pihak tindakan mengumpulkan warga untuk diajak membicarakan isu-isu seperti itu sudah sangat tepat. Tetapi harus juga dipikirkan substansi pertemuan haruslah mencari solusi penyelesaian terhadap masalah dengan pendekatan komunikasi massa yang memadai, karena komunikasi yang salah akan menjadi kontraproduktif dengan tujuan pertemuan yang sebenarnya, sehingga bisa menyulut emosi warga dan akhirnya melakukan tindakan anarkis.
Indonesia memiliki berbagai macam budaya dan suku yang masing-masing mempunyai karakter berbeda, namun pada dasarnya memiliki tingkat kebersamaan yang tinggi bukan hanya untuk hal-hal positif, tetapi bila salah diarahkan akan sangat berpotensi kepada hal-hal yang negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
HTML